Thursday, March 30, 2017

QUO VADIS UMKM KITA ?




Sektor Usaha Kecil Menengah (UMKM)  Indonesia yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kecil, disebutkan tidak layak masuk dalam skema perbankan. Tingkat kesuksesan usaha dari UMKM menurut data perbankan hanya seputar 10 % saja. Sisanya hidup segan mati tak mau.

Strategi pemberdayaan yang dilakukan pemerintah, kebanyakan hanya sampai pada taraf pemberian insentif dan bantuan sesaat tanpa adanya pembinaan berkelanjutan.

Upaya mengatasi kendala pembinaan dalam memajukan sektor UMKM bukannya tidak ada. Sejak 1993 telah dirintis model Inkubator bisnis oleh kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Dengan harapan strategi inkubator bisnis dapat maksimal dalam  memberdayakan UMKM. Namun  sejauh ini baru 59 inkubator bisnis yang berdiri, kebanyakan di Perguruan Tinggi. Dari jumlah itu hanya setengahnya saja yang dapat dikatakan berjalan dengan baik.   

Meski peran UMKM dalam kontribusinya untuk PDB berkembang  dari tahun ke tahun, sebagai contoh pada tahun 2010 PDB UMKM meningkat 0,595 dari 56,5 % pada 2009 menjadi 57,12 % pada 2010. Sedangkan pada tahun 2011 meningkat sebesar 0,835 menjadi 57,945 dan pada taun 2012 terjadi peningkatan sebesar 1,145 menjadi 59,08%.

Dari data diatas, apakah masih ada good will dari para pemangku kebijakan untuk secara serius memberdayakan sektor ekonomi rakyat tersebut ? apakah negara kita tidak akan pernah bisa mengikuti Thailand yang setiap tahun berhasil mencetak 1.000 pengusaha kecil baru ?

Wednesday, March 29, 2017

MENYOAL TAX AMNESTY KITA




Upaya pemerintah dalam memperbaiki kinerja APBN kita terutama dalam sisi penerimaan pajak negara melalui Tax Amnesty, patut dihargai. Minimal soal data kekayaan warga negara dan berapa kewajiban pajak terutang bisa didapat. Data Wajib Pajak bisa lebih tetap di jadikan acuan target penerimaan pajak bulanan. Pada program Tax Amnesty periode ke III (terakhir) kali ini, pemastian data WP tersebut menjadi target utama dari program tax amnesty ke depan.

Direktorat Jenderal Pajak per akhir Desember, mencatat komposisi harta di periode II program pengampunan pajak (Tax Amnesty) mencapai Rp 375,97 triliun, lebih kecil dibanding periode I sebesar Rp 3.667 triliun. Sedangkan realisasi penerimaan dari program pengampunan pajak (Tax Amnesty) mencapai Rp 101 triliun, meningkat dari 30 September 2016 sebesar Rp 97,2 triliun.


Menurunnya realisasi penerimaan dari tax amnesty diatas, disebabkan karena WP besar dengan deklarasi pajak yang akan disetor sebagian besar telah didaftarkan pada periode pertama tax amnesty.
Apapun hasilnya, program tax amnesty memang telah membuka mata dunia tentang betapa seriusnya pemerintahan Jokowi dalam menata ulang sektor keuangan terutama peningkatan penerimaan APBN dari sektor pajak. Penerimaan dan deklarasi pengampunan pajak yang didapat WP yang melapor, tercatat menduduki lima besar program tax amnesty dunia.

Selain anggaran penerimaan negara dalam APBN kita, yang harus serius dijadikan sektor penyeimbang adalah juga menaikkan anggaran penerimaan non migas, juga UMKM dan upaya pembenahan terhadap penerimaan non migas, terutama sektor energy baru dan terbarukan (EBT). 

Sektor non migas, selama ini banyak terabaikan. Penerimaan terbesar APBN selama ini masih mengadalkan sektor migas yang mencapai 104 % dari target APBN atau 289 Trilliun. Namun seiring dengan turunnya produksi migas Indonesia menjadi hanya 750.000 barel per hari (dulu sempat 1,2 jt barel per hari), maka dibutuhkan penerimaan pengganti dari migas. Pembenahan dan percepatan dalam mewujudkan penerimaan negara dari EBT dan UMKM serta pajak, harus menjadi fokus utama. 

Urusan hambatan birokrasi, biaya siluman, dan minimnya dukungan dari stake holder menjadi aral paling serius dalam mewujudkan EBT dan UMKM untuk eksis. Seorang wakil menteri ESDM  di era SBY dalam satu seminar tentang Kedaulatan Energi di UGM pada 2015, mengeluhkan tentang  lambannya birokrasi di tingkat bawah ESDM dalam merespon  temuan dan upaya menciptakan EBT.  Begitu pula di sektor UMKM terutama upaya menciptakan daya saing terhadap produk-produk unggulan teknologi tinggi dan  teknologi komunikasi.

Diperlukan sinergi dan dorongan luar biasa dari pemerintah, dalam upaya menaikkan kepatuhan WP, mewujudkan UMKM dan EBT yang berdaya saing, yang mampu menaikkan anggaran penerimaan negara ke depan.











SEDIA PAYUNG SEBELUM TENGGELAM






Penduduk Pulau Jawa yang mencapai 141 juta jiwa, memang menjadi asset  potensial untuk mendukung perekonomian nasional.  Apalagi 57 % kegiatan perekonomian Indonesia juga ada di Jawa. Adalah hal wajar  jika 80 % penerimaan pajak berasal dari Jawa (Sri Mulyani,2017).

Namun strategi industrialisasi di Pulau Jawa sudah saatnya dievaluasi. Tingkat kepadatan penduduk Pulau Jawa yang mencapai 44 % dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia, tentu    membutuhkan dukungan lahan yang dapat menampung kebutuhan hidup layak bagi penduduknya.       

Dampak kerusakan lingkungan akibat industrialisasi di Pulau Jawa, sudah saatnya dijadikan dasar bagi pemikiran untuk segera merevitalisasi kawasan luar Pulau Jawa. Infrastruktur daerah untuk mendukung industrialisasi harus dijadikan prioritas. 

Dengan memindahkan  industrialisasi ke luar Jawa, disamping menciptakan lapangan kerja baru dan pertumbuhan ekonomi daerah, juga akan meningkatkan nilai tambah bagi hasil sumber daya alam daerah yang selama ini dinikmati pulau Jawa. 

Bencana ekologi dipulau Jawa akan dapat dihindari, jika pengambil kebijakan dapat menyadari resiko yang timbul dari eksploitasi berlebihan dari lahan di pulau Jawa yang semakin sempit. 

Namun adakah strategi pembangunan berkelanjutan diluar Jawa ini dapat dipahami oleh para inverstor asing dan lokal yang selama ini  sudah menikmati berbagai kemudahan dan kemewahan infrastruktur dilebih dari lima kawasan industri di pulau Jawa ?









MENGGEBAH MINIMARKET DI PEDESAAN



Program ekonomi kerakyatan yang didengungkan pemerintah, nampaknya bakal jauh panggang dari api.

Lihatlah, betapa merajalelanya minimarket dibangun sampai tingkat pedesaan, dan menggusur ekonomi rakyat kecil.

Sementara para pemilik warung dan toko kecil hanya bisa pasrah, sambil melihat lalu lalang para pembeli bermobil yang wangi, keluar masuk swalayan. Omzet  mereka rata-rata anjlok 41 % per bulan.
Lalu, mengapa mudah sekali para pemodal besar itu membangun minimarket sampai ketingkat desa, bersaing pula dengan minimarket merk lain dan kadang berhadap-hadapan ? 

Padahal ada Undang-Undang Nomor  tahun 9 tahun 1995 pasal 8 ayat  2 dan 3 yang melarang pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli dan monopsoni dengan merugikan usaha kecil;  juga mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan usaha kecil.  

Juga ada Pasal 1 angka 5 Perpres 112/2007 yang mengatur pendirian toko modern yang  wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi mayarakat sekitar, berikut aturan jarak antara toko modern dengan pasar tradisional yang telah ada.  

Konon, masalahnya ada pada para pemangku kebijakan ditingkat desa  sampai Bupati dan Gubernur dengan ungkapan “semua bisa diatur”. 

Bayangkan, di Sidoarjo ada 42 Minimarket yang diketahui tidak berizin alias bodong.  Namun mereka tetap dapat beroperasi dengan leluasa. Itu baru disatu kabupaten yang ketahuan. Sanksi untuk para pelanggar Peraturan juga sudah tercantum di Undang-Undang dan Perda yang bertebaran.

AGAMA DAN POLITIK, ISSUE PURBA YANG SEXY






Urusan pemisahan agama dan politik telah lama  menjadi polemik politik dunia. Sejak zaman renaissance pada abad pertengahan, agama dinilai terlalu dalam ikut campur dalam perkara politik pemerintahan. Hingga akhirnya muncul ide  untuk memisahkan agama dari urusan politik. 

Statement Presiden Jokowi  tentang pemisahan agama dan politik, mencerminkan kegelisahan terhadap kembalinya politik aliran. Politik aliran, sebagai buah dari peta pertarungan politik Indonesia pasca kemerdekaan, lahir dari realitas sosial Indonesia yang tumbuh mengilhami pengelompokan sosial politik kemasyarakatan kita.
Bagi kelompok yang berangkat dari ideologi Keislaman, urusan agama tidak dapat dipisahkan dari urusan dunia. Islam menuntun ummatnya dalam segala hal.  Aspek politik, tata negara, sosial, ekonomi dan budaya. Pemisahan urusan agama dengan politik, ditolak oleh Islam sebagai ideologi sekuler.  

Bagi kelompok yang beraliran sosialisme, komunisme dan kelompok nasionalis liberal, agama harus terpisah dari urusan politik. Sebagaimana sejarah kebangkitan Eropa.
Indonesia modern, dipandang harus mengadopsi aspek modernitas yang mencerminkan tata keteraturan, pertanggungjawaban, kompetensi dan kepatuhan terhadap kaidah organisasi. Bagi kelompok nasionalis sekuler, pemenuhan unsur modernitas tersebut diluar wilayah agama.   Harus ada sosok modern dan  kredibel untuk melaksanakan agenda-agenda modernisasi.  
Perbedaan sudut pandang  ajaran dan ideologi inilah yang menyebabkan ketegangan-ketegangan sosial pada Indonesia mutakhir. Bagi kelompok agama (Islam), semua aspek yang dipersyaratkan oleh pandangan dunia modern ada dalam ajaran Islam. Terlebih aspek kompetensi dan kredibilitas (baca: kejujuran). 

Apakah Indonesia modern memang harus memisahkan agama dan politik untuk mencapai Indonesia yang lepas landas? Bagaimana halnya, jika konflik dan ketegangan sosial yang ada lebih diperparah oleh adanya stigma kooptasi dan dominasi negara oleh sekelompok kecil elit yang menguasai 80 % kekayaan Indonesia?


       

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...