Thursday, April 26, 2018

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / PPh Final untuk UKM) tentang pengenaan tarif bagi wajib pajak (WP) pelaku UMKM, akhir Maret ini pemerintah segera memberlakukan ketetapan pajak final bagi UMKM sebesar 0,5 persen. Turun dibanding sebelumnya sebesar 1 persen final. Objek penghasilan yang dipotong pajak UMKM adalah usaha dengan total peredaran bruto (omzet) maksimal Rp 4,8 miliar dalam setahun.

Bagi Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Akumindo), bukan perkara turun tarif pajaknya yang menjadikan pelaku UMKM gundah. Tetapi seharusnya pelaku UMKM mendapatkan tarif PPh Pasal 4 ayat 2 di angka 0 persen alias tidak dikenakan pajak, sebagaimana yang berlaku di negara-negara lain. Menurut Akumindo, di hampir semua negara--termasuk kawasan Asean--pelaku UMKM dibebaskan dari pajak. Akumindo berharap UMKM tidak dipukul rata dalam pengenaan pajak 0,5 persen final, sebab mayoritas pelaku UMKM adalah pelaku usaha mikro dan kecil yang berada di daerah dan berjuang meningkatkan penjualan produknya di tengah iklim usaha yang melemah.

Bisakah skema tarif 0 persen bagi UMKM (Mikro dan kecil) diterapkan seperti di negara lain? Apa saja kendalanya? Bisakah UMKM dibagi per kategori usaha misalnya bagi UMKM yang benar-benar telah maju dan besar yang dikenakan pajak final?

Ironisnya, awal Maret 2018 lalu Direktur BEI kembali mengusulkan agar pajak dividen investor saham dihapus. Padahal melalui UU Nomor 26 Tahun 1983 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pajak dividen sudah turun dari 20 persen ke 10 persen.

Usulan penghapusan pajak dividen bagi investor saham terasa kontradiktif dengan asas keadilan pajak bia dibandingkan dengan pelaku UMKM yang tetap dikenakan pajak final. Terlebih para investor saham tentulah mereka yang mempunyai harta berlebih dan dapat menyisihkan hartanya untuk diinvestasikan ke pasar saham. Apalagi, beberapa pengamat berpandangan, jika pajak dividen dikembalikan ke 20 persen, maka hal tersebut bisa meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
Permohonan penghapusan pajak UMKM dipandang tidak berlebihan. UMKM di samping telah berperan dalam menyerap 97 persen total tenaga kerja dalam negeri, juga berperan dalam menyumbang 68 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. UMKM juga terbukti kebal terhadap berbagai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak krisis moneter 1998. Ketika itu UMKM menjadi penyangga efektif dalam menyelamatkan kehidupan ekonomi banyak orang yang terkena pemutusan hubungan kerja akibat krisis ekonomi.

Penerapan pajak final bagi UMKM juga dipandang belum clear tentang definisi peredaran bruto yang dikenai pajak penghasilan. Apakah konsep pajak final UMKM telah memperhitungkan biaya yang dikeluarkan ataupun laba yang didapatkan oleh UMKM. Bisa jadi dalam setahun usaha UMKM justru merugi, sedang mereka akan tetap keluar uang untuk bayar pajak lantaran PPh yang dipatok final.

Jadi, daripada kembali mengejar pajak UMKM yang sebetulnya bisa diberikan penghapusan pajak, alangkah baiknya agar upaya optimalisasi penerimaan pajak negara difokuskan pada penarikan pajak bagi start up digital “Unicorn” yang mendapat gelontoran dana triliunan dari para taipan. Begitu pula terhadap pengenaan pajak dividen yang dikembalikan ke angka 20 persen, agar penerimaan pajak negara bisa “nendang”.

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca selengkapnya tanggapan pakar di Watyutink.com)

Sengkarut Kepemilikan Lahan

Polemik ihwal kepemilikan lahan dan program bagi-bagi sertifikat (BBS) agaknya harus melihat sisi lebih dalam dan luas lagi, ketimbang hanya meributkan program BBS yang belum lama bikin heboh.
Evaluasi selama 32 bulan (2015-Agustus 2017) memang mencatat sertifikasi tanah yang selesai baru 2.889.993 bidang atau rata-rata sekitar 90.300 bidang/bulan (Drajat Wibowo, 2018). Data Kementerian Agraria juga menyebutkan jumlah bidang yang selesai baru 4,23 juta, dan bukan 5 juta bidang atau meleset 15,4 persen.

Ditelisik lebih dalam, kontribusi redistribusi tanah ternyata masih minim. Selama  2015-Agustus 2017 terdapat 245.097 bidang tanah redistribusi yang tersertifikasi atau hanya 8,5 persen dari jumlah sertifikat.

Apa penyebab program sertifikasi tanah rakyat masih minim? Sekilas, reforma agraria terlihat belum serius dilaksanakan, sementara isu pemilikan 74 persen lahan oleh korporasi sudah menjadi bola liar. Apakah dari sekitar 2,8 juta yang sudah disertifikasi terdapat lahan milik korporasi besar?

Program reformasi agraria seharusnya bisa mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah, dan sekaligus ketimpangan aliran manfaat dari tanah. Persoalan pemilikan tanah sebagai alat produksi yang dapat meningkatkan daya produktivitas dan harkat ekonomi petani kecil/ buruh tani selayaknya menjadi agenda utama pemerintahan yang pro rakyat. Namun, data Rasio Gini Lahan (RGL) akhir 2017 oleh Megawati Institute menyebutkan RGL menunjukkan ketimpangan yang membesar. Pada 1973 RGL adalah 0,55; 1983 (0,5), 1993 (0,64), 2003 (0,72), dan 2013 sebesar 0,68.

Adakah angka di atas itu berhubungan dengan temuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2015 perihal konflik-konflik agraria yang terjadi di dunia ketiga, termasuk Indonesia, disebabkan oleh fenomena perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing) oleh multinational corporation pasca krisis ekonomi 2008? Laporan “The Economist” pada 2009 mencatat sekitar 37-49 juta hektare yang telah dirampok sejak 2006, dan jumlahnya diprediksi terus meningkat pasca krisis 2008.

Laporan dari Lund University, Swedia (2014), juga memberikan gambaran buruk tentang ekspansi perampasan tanah. Dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah. China bertransaksi dengan 33 negara, Inggris 30 negara, dan AS 28 negara. Negara-negara tersebut muncul sebagai pemain utama yang rajin membeli tanah negara-negara di Afrika dan Asia.

Mampukah negara berdaulat bisa melawan kedigdayaan multinational corporation yang ‘merampok tanah’ secara legal tersebut? Apakah karena hal di atas kemudian terdapat sekitar 100 ribu lahan pertanian menyusut tiap tahun di Indonesia, dan lebih dari 800.000 rumah tangga petani memutasi lahan pertaniannya karena alasan ekonomi? Walhasil, dari rangkaian permasalahan tanah tersebut prospek dunia pertanian Indonesia belakangan memang semakin terpuruk.

Apa yang harus dilakukan oleh para pengambil kebijakan nasional terhadap persoalan kepemilikan lahan ini? Adakah keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan korporasi besar dalam perkara sensitif seperti masalah tanah?

Atau agaknya perlu dilakukan rembug nasional tentang reformasi agraria, termasuk di dalamnya muncul kajian-kajian komprehensif tentang berbagai opsi reformasi agraria.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan  Pakar di Watyutink.com)

Parahnya Temuan BPK pada Pengelolaan Pangan

Hal menarik muncul dalam laporan hasil temuan BPK RI  terkait tata niaga pengelolaan impor pangan oleh Kementerian Perdagangan selasa (3/4/2018) lalu. Dari ikhtisar hasil pemeriksaan semester II/2017, terungkap sembilan temuan yang mengindikasikan adanya ketidakpatuhan terhadap sistem yang berlaku dan telah dipersyaratkan dalam tata niaga impor pangan. 

Ke-sembilan temuan itu antara lain pertama, izin impor beras 70.195 ton yang tidak memenuhi dokumen persyaratan, lewat waktu dan bernomor ganda. Kedua, impor 200 ton beras kukus tidak mempunya rekomendasi dari Kementan. Ketiga, pada 2016 impor sapi 9.370 ekor dan 86.567,01 ton daging sapi dan 3,35 juta ton garam tidak memenuhi dokumen persyaratan. Keempat, tidak adanya sistem pemantauan realisasi impor dan kepatuhan pelaporan oleh importir. Kelima, alokasi impor gula kristal putih, beras, sapi dan daging sapi tidak sesuai kebutuhan dan produksi dalam negeri.
Selain itu berturut-turut temuan ke-6 sampai ke-9 terkait tidak adanya dokumen Persetujuan Impor (PI) dan tanpa koordinasi untuk impor gula 1,69 juta ton, 108.000 ton gula kristal merah yang tidak disertai analisis kebutuhan, PI sapi 50.000 ekor pada 2015 yang tidak melalui rapat koordinasi dan impor 97.000 ton daging sapi dan realisasi 18.012,91 ton senilai Rp737,65 miliar, tanpa melalui rapat koordinasi dan rekomendasi kementan (detik.com, 03/04/2018).

Dari rentetan temuan BPK di atas, ada dua hal mendasar yang seolah dilupakan sama sekali, yakni ihwal koordinasi dan tidak adanya data analisis kebutuhan dan produksi dalam negeri. Bagaimana bisa impor dilaksanakan tanpa adanya koordinasi dan dokumen persetujuan impor? Bagaimana menjelaskan hal tersebut? Kasus tersebut tentunya tidak bisa disederhanakan hanya kasus “ketlingsut” atau terlupa dilakukan. 

BPK sendiri berdasarkan temuan hasil pemeriksaan merekomendasikan kepada Kemendag agar mengembangkan portal inatrade dan integrasi portal instansi/entitas lain terkait data dokumen hasil koordinasi dan data rekomendasi. Dengan demikian masalah miskoordinasi dan ketiadaan data memang menjadi masalah besar yang belum juga bisa diselesaikan, bahkan pada instansi setingkat kementerian negara.

(Lihat : Habis Dwelling Time, Terbitlah Logistik Mahal)

Jika demikian halnya, sesungguhnya birokrasi model bagaimana yang ada dalam sistem tata pemerintahan negara ini khususnya di Kemen Perdagangan? Bukankah birokrasi merupakan mesin penggerak pemerintahan yang semestinya bekerja dengan efisien dan saling terhubung dalam satu koordinasi yang efekfif? Apakah karena kondisi birokrasi seperti itu yang menyebabkan paket 16 deregulasi ekonomi tidak berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan? Terbukti dengan adanya kasus-kasus regulasi tambahan/lartas di internal kementerian tertentu yang menghambat ekspor dan investasi, yang dibuat tidak melalui koordinasi dengan tim satgas deregulasi ekonomi.

(Lihat: Jonan Rempong Dicecar Senayan, Paket Deregulasi Tersendat)

Masih bisakah birokrasi pemerintahan di Indonesia diperbaiki? Mampukah birokrasi ‘dididik’ kembali untuk menjadi mesin penggerak pemerintahan yang bekerja efektif, dan tidak menjadi duri dalam daging? Bisakah mengubah budaya birokrasi agar tidak selamanya menjadi “bad sector” dalam upaya besar modernisasi pemerintahan yang bersih dan berwibawa?

Apa pendapat Anda? Wayutink? 

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Kemana Arah Industri Nasional?

Di tengah kelesuan yang melanda industri manufaktur--dengan pertumbuhan hanya 4,27 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional 5,07 persen pada 2017--industri nasional kini dihadapkan pada situasi dilematis. Bediam diri dengan kondisi industri manufaktur yang apa adanya, berarti akan semakin jauh tertinggal dari laju industri di negara maju dan juga kemajuan ilmu pengetahuan/teknologi terkait revolusi industri 4.0 yang menjadi tren global. Melangkah merevitalisasi industri manufaktur, tantangan yang menghambat sungguh amat banyak.

Revolusi industri 4.0 yang melanda dunia ditandai dengan industri maju yang telah mengombinasikan teknologi robotik, otomatisasi, big data, artificial inteligent (AI), penggunaan internet dan lain-lain. Sementara industri nasional kebanyakan masih berada pada konsep industri 3.0 dengan penggunaan teknologi robotik dan otomatisasi. Sedangkan kondisi riil industri nasional terkendala untuk masuk ke tahap revolusi industri 4.0 dalam soal kesiapan SDM, modal untuk berinvestasi ke industri 4.0, mahalnya biaya bunga dan pengembalian investasi. Juga ihwal vendor/pemasok teknologi 4.0 dan kesiapan regulasi serta koordinasi pada stakeholder industri (Kompas, 6/04/2017).

Dengan banyaknya kendala bagi industri manufaktur di tanah air untuk masuk dalam tahapan revolusi industri 4.0, masih mampukah Indonesia mengejar ketertinggalan? Sementara industri dalam negeri masih terbelit oleh berbagai regulasi yang saling tidak sinkron, dan kalah daya saing akibat membanjirnya barang impor. Lagipula, dunia riset kita sebagai prasyarat bagi industrialisasi yang kuat, sejak lama tidak tumbuh dengan baik menjadi modal dasar bagi tumbuh kembangnya industrialisasi. Apa yang menyebabkan itu semua?

BACA JUGA : Benang Kusut Dunia Riset Kita

Menyadari ketertinggalan dunia industri nasional, pemerintah melalui Kementerian Keuangan pada (04/04) lalu mengumumkan mulai menggodok skema pengurangan pajak untuk perusahaan industri yang mengembangkan riset dan pengembangan/inovasi (R&D). Bentuknya adalah memberikan insentif fiskal (tax holiday) bagi industri yang mengembangkan kegiatan riset selama 25-30 tahun seperti yang dilakukan China dan sukses di sana. Kementerian Perindustrian juga mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk memberikan tax allowance 200 persen untuk industri yang melaksanakan kegiatan pendidikan vokasi dan 300 persen untuk yang mengembangkan inovasi dan riset seperti yangan dilakukan Singapura dan Thailand.

BACA JUGA : Bebaskan Pajak Investor Hingga 20 tahun, Adilkah Buat Rakyat?

Sekilas, usulan pemberian insentif fiskal kepada industri terlihat amat menarik. Tetapi, apakah semudah itu akan memberikan dampak nyata bagi peningkatan peran industri manufaktur dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Mampukah dunia industri menyahuti tantangan pemerintah untuk menjadi pusat riset dan inovasi unggul? Mampukah industri untuk melaksanakan pendidikan vokasional untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia yang sedang bersiap menghadapi era bonus demografi? Lalu bagaimana dengan peran perguruan tinggi? Mengingat, selama ini terdapat gap yang cukup lebar antara kebutuhan industri dengan hasil-hasil riset perguruan tinggi.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan di Watyutink.com)

Menyoal Strategi Pengentasan Kemiskinan Kita

Program pengentasan kemiskinan yang melulu dilihat dari cara pandang pilihan program, implementasi program dan tolok ukur nominal serapan bantuan atau angka naik turunnya kemiskinan, sepertinya akan gagal memahami bahwa kemiskinan sampai kapanpun akan kesulitan untuk diatasi.
Beberapa pihak sampai saat ini masih memaparkan peliknya problematika kemiskinan di Indonesia. Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan seperti bantuan pangan non tunai, dana desa, program keluarga harapan, dan lain-lain. Namun angka kemiskinan tidak turun secara signifikan, atau diukur dengan rasio ketergantungan penduduk yang selama beberapa puluh tahun tidak berjalan linear dengan turunnya tingkat kemiskinan. Padahal, alokasi anggaran untuk program pengentasan kemiskinan sudah dikucurkan sangat besar, Rp100 triliun pada 2010, dan meningkat jadi Rp292,8 triliun pada 2018. Angka kemiskinan pada 1993 tercatat 37,9 juta orang dan pada 2017 menjadi 27,7 juta orang. Memang menurun, tapi tidak berbanding lurus dengan kenaikan anggaran penanggulangan kemiskinan.

Laporan Human Development Report UNDP mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2016 sebesar 0,689 dan berada di peringkat 113 dari 118 negara di dunia, turun dari posisi 110 pada 2015 dan masih di bawah rata-rata dunia yang sebesar 0,711. Peringkat Indonesia masih berada di bawah empat negara ASEAN lainnya, yakni Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.

UNDP mencatat IPM ini meningkat sekitar 30,5 persen dalam 25 tahun terakhir. Namun, di saat yang bersamaan ada sejumlah indikator kesenjangan yang bertolak belakang dengan peningkatan IPM tersebut. Pertama, tingkat kemiskinan dan kelaparan. UNDP mencatat, ada sekitar 140 juta orang Indonesia yang hidup dengan biaya kurang dari Rp20 ribu per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi buruk. Kedua, tingkat kesehatan dan kematian. Tercatat dua juta anak di bawah usia satu tahun belum menerima imunisasi lengkap. Kemudian, angka kematian ibu sebanyak 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Ketiga, akses ke layanan dasar. UNDP melihat bahwa hampir lima juta anak tidak bersekolah dan anak-anak di Papua memiliki tingkat dikeluarkan dari sekolah yang tinggi.
Mengapa program pengentasan kemiskinan berjalan amat lambat, padahal anggaran yang besar dan berbagai macam program selama beberapa dekade telah dilaksanakan, dengan hasil tidak signifikan? Kesalahan cara pandang melihat kemiskinan atau ketidakmampuan menemukan solusi dari aneka ragam persoalan kemiskinan rakyat kita? Sementara Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal/Transmigrasi juga menunjukkan kinerja yang belum jelas. Lalu apa masalah sebenarnya atau, mampukah kita menemukan akar masalah kemiskinan sesungguhnya?

Akar kemiskinan di Indonesia bukanlah budaya malas bekerja keras. Kompleksitas masalah yang menyebabkan rakyat tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan, seperti faktor kebijakan yang menyebabkan rakyat tersingkirkan dari sumber daya alamnya. Sepertinya, penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil, apalagi jika sumber-sumber produktif rakyat tak lagi menjadi basis penanggulangan kemiskinan. Lalu, sampai kapan segala macam dana tunai itu dapat dijadikan andalan program penanggulangan kemiskinan jika akar masalah nya ternyata gagal kita pahami?

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Beranikah Perang Dagang dengan Uni Eropa?

Bukan hanya Amerika dan China yang bisa melakukan aksi “perang dagang”. Indonesia pun bisa bersikap galak terhadap negara lain, terutama Uni Eropa (UE). Gegara negara-negara UE yang akan menghentikan penggunaan CPO/minyak kelapa sawit pada 2021, Kementerian Perdagangan didukung pengusaha industri sawit dalam negeri meradang dan mengumumkan perang dagang dengan UE. Maklumlah, dengan tidak diperbolehkannya CPO/biofuel masuk ke pasaran UE, maka Indonesia berpotensi kehilangan pangsa ekspor sebesar 2,89 miliar dolar AS per tahun (BPS-2017).
Indonesia, selain menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia (produksi 33,4 juta ton pada 2016), industri sawit juga merupakan penghasil devisa terbesar yang pada 2016 mencapai 18,22 miliar dolar AS dan pada 2017 tembus di angka 22,97 miliar dolar AS atau naik sekitar 26 persen. Luas lahan kelapa sawit sendiri sampai 2016 sebesar 11,9 juta hektare (ha) di mana 53 persennya dikuasai oleh swasta (6,3 juta ha), 40 persen dikuasai rakyat (4,8 juta ha), dan 7 persen dikuasai oleh BUMN (755,8 ribu ha). Tenaga kerja yang terserap dari industri sawit hulu sampai hilir tercatat 21,2 juta orang.

Uni Eropa saat ini adalah pasar terbesar kedua bagi CPO Indonesia dengan volume penjualan 6,6 juta ton pada 2016. Urutan pertama adalah India dengan 10,3 juta ton dan pasar China di urutan ketiga dengan 5,2 juta ton.

Terkait perang dagang Indonesia - UE, seriuskah Indonesia akan melakukannya ke UE dan menyetop ekspor CPO ke UE? Juga menyetop impor pesawat airbus dan wine Perancis misalnya? Sudahkah dilakukan perhitungan secara detail ihwal untung-rugi perang dagang tersebut? Mengingat ekspor Indonesia ke UE saat ini bukan hanya minyak sawit saja, tapi juga banyak produk lain seperti alas kaki (9 persen), elektronik (8 persen), karet (7 persen), peralatan non-tekstil (5 persen), bahan kimia (4 persen) peralatan terkait tekstil (4 persen) serta produk kayu dan kerajinan (3 persen). Mengapa tidak ditingkatkan saja pendekatan intens dan efektif dengan mengirim utusan ke UE?

Pada Desember 2017 lalu saja, European Business Chamber (EuroCham) menawarkan  kerjasama lebih banyak impor barang modal untuk meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Studi Indef yang dikutip EuroCham menyebutkan, dengan meningkatnya impor produk penunjang industri, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik mengingat masih banyak ruang untuk memaksimalkan potensi perdagangan Indonesia - UE. Tambahan 1 persen ekspor ke Uni Eropa akan menghasilkan peningkatan PMA sebanyak 1,98 persen.

Melihat perkembangan industri dalam negeri dan perlunya Indonesia memperkuat iklim investasi asing, agaknya perlu untuk belajar sedikit berendah hati mengingat banyaknya kelemahan yang harus diperbaiki dan kebutuhan kerjasama dengan berbagai pihak dalam dan luar negeri untuk meningkatkan iklim investasi. Apalagi, pada November  2017 lalu Amerika juga telah menetapkan putusan final bea masuk imbalan (countervailing duty) antara 34,45 persen - 64,73 persen bagi produk biodiesel Indonesia, terkait bangkitnya proteksionisme Amerika Serikat.

Sepertinya masih banyak waktu bagi Indonesia untuk memperbaiki citra industri sawit dalam negeri sambil terus menjajagi perluasan pasar CPO ke Rusia, Timur Tengah, India, dan Afrika. Meski India sejak 2014 juga melakukan trade barriers berupa safeguard atau tarif impor khusus tambahan bagi produk yang dianggap membanjiri pasar India. terutama CPO RI berkenaan dengan lemak alkohol (fatty alcohol) yang dituduhkan kepada Indonesia.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Mengkritisi Putusan MA soal Pajak Air Freeport

Freeport menang lagi, dan Pemprov Papua terpaksa gigit jari. Gugatan Pemprov Papua kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) menyangkut tunggakan dan denda pajak air permukaan PT FI tahun 2011-2015 sebesar Rp2,6 triliun dikabulkan oleh Pengadilan Pajak pada 18 Januari 2017. Upaya banding PT FI pun ditolak. Tetapi di tingkat Peninjauan Kembali (PK), MA memenangkan PT FI.
Argumen MA memenangkan PT FI, Kontrak Karya (KK) PT FI dengan pemerintah Indonesia pada 1991 merupakan kategori “lex specialis” sehingga tidak bisa dijangkau yang berlaku umum (lex generalis). Selain itu, ada kebijakan fiskal di bawah otoritas Menkeu/pemerintah pusat, serta ada sifat khusus yang memiliki yurisdiksi dan kedudukan perlakuan hukum yang sama dalam pelayanan hukum.

PT FI berpedoman pada biaya penggunaan pajak air permukaan yang hanya Rp10 per meter kubik per detik. Sementara hitungan Pemprov Papua berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang pajak daerah sebesar Rp120 per meter kubik per detik untuk tiap pengambilan air dan tarif pajak 10 persen dari jumlah volume air bawah tanah/permukaan, serta sanksi kelalaian berupa bunga 25 persen dari pokok pajak plus sanksi administrasi 2 persen per bulan dari kekurangan bayar pajak. Tuntutan Pemprov Papua  juga mendapat rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Bejo” nian nasib PT FI. Putusan Pengadilan Pajak dan rekomendasi dari BPK, dua institusi yang amat paham aturan teknis perhitungan pajak, dimentahkan oleh para hakim MA dengan alasan lex spesialis dan otoritas pemerintah pusat. Apakah hal ini adalah buah dari berlarut-larutnya perundingan pemerintah dengan PT FI dalam kasus perpanjangan izin PT FI? termasuk pengenaan pajak progresif untuk PT FI tetapi PT FI keukeuh dengan KK yang memakai asumsi tarif pajak flat? Atau jangan-jangan, adakah yang ‘masuk angin’?

Padahal, pemerintah RI dan PT FI pada Desember 2017 lalu baru saja ‘agak sepaham’ ihwal syarat-syarat perpanjangan kontrak PT FI sampai 2041. Di antaranya, PT FI setuju harus membangun smelter dalam tempo lima tahun (selesai 2022 )serta progresnya diawasi pemerintah tiap 6 bulan. ihwal divestasi 51 persen saham yang diatur bertahap (masih terus dinegosiasi), PT FI diizinkan mengekspor konsentrat tapi dengan membayar bea keluar, dan landasan kerjasamanya adalah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan lagi Kontrak Karya.

Bagaimanapun, kepentingan nasional harus tetap menjadi yang utama. PT FI yang telah mengeksploitasi bumi Cenderawasih selama lebih dari 30 tahun dan memanen untung teramat besar tidak boleh terus dimanja. Termasuk dalam kasus tarif dan denda pajak penggunaan air permukaan yang semestinya dipatuhi oleh PT FI. Hanya karena dianggap kasus lex spesialis dan wewenang pusat, MA malah mengeluarkan putusan yang membuat potensi pendapatan rakyat Papua sebesar Rp2,6 triliun menjadi ‘amsyong’ begitu saja.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Teknologi Digital Untuk Pertanian Kita

Arus kemajuan teknologi digital yang kian tak tertahankan telah mendisrupsi segala kegiatan. Teknologi, yang diciptakan untuk mempermudah pekerjaan dan mobilitas manusia sejak revolusi industri 1.0 sampai era revolusi industri 4.0, telah mempengaruhi pola kegiatan dan pola pengambilan keputusan. Penggunaan tenaga manusia pun ikut tergerus dibanding era mekanisasi robotik dan otomatik (revolusi industri 3.0), menjadi era teknologi otomatisasi robotik, big data, artificial inteligent (AI), dan penggunaan internet.

Kegiatan dan transaksi ekonomi di bidang perbankan adalah yang paling banyak terdisrupsi akibat kemajuan teknologi digital/teknologi informasi. Namun, adakah kemajuan luar biasa era digital juga memasuki wilayah pertanian? Sebab, sektor ini yang paling banyak menyerap tenaga kerja (39,68 juta atau 31,86 persen dari 124,54 juta penduduk bekerja di Indonesia).

Sebagai catatan, persentuhan dunia pertanian Indonesia dengan teknologi budidaya pertanian dimulai sejak revolusi hijau di masa Orde Baru. Kala itu, revolusi hijau menghasilkan swasembada pangan selama 5 tahun pada 1984-1989. Tetapi revolusi hijau pada saat itu juga menimbulkan dampak kesenjangan ekonomi dan sosial di pedesaan, karena yang diuntungkan hanya petani kaya yang memiliki tanah lebih dari setengah hektare, juga pihak penyelenggara negara tingkat pedesaan.
Semestinya, di tengah laju pembangunan yang berimplikasi pada berkurangnya lahan pertanian, penggunaan teknologi pertanian mutakhir seiring kemajuan teknologi digital/informatika dapat memaksimalkan hasil pertanian, seperti yang terjadi di Thailand dan Jepang misalnya. Beberapa inovasi teknologi masyarakat memang telah muncul di bidang pertanian. Sebutlah beberapa startup pertanian seperti aplikasi “Agtech” (Agricultural Technology). “Agtech” adalah aplikasi yang fokus pada pengembangan bisnis di bidang pertanian. Tak hanya ihwal informasi produk berkualitas, tapi teknologi ini menjadi sumber informasi bagi petani tentang cara bercocok tanam secara modern dan cepat, serta solusi mengatasi masalah pertanian dan sebagainya.

Begitu pula dengan inovasi teknologi agrikultur yang tengah digandrungi seperti “RITX” yang menawarkan fitur marketplace untuk memasarkan produksi pertanian, konsultasi pertanian, informasi harga komoditas, prakiraan cuaca, dan lainnya, fitur crowdfunding untuk pendanaan/investor kegiatan setiap musim tanam, dan fitur “IOT” (Internet of Things) yang digunakan investor dalam memonitor perkembangan proyek pertanian yang didanai, serta fitur Artificial Inteligence (AI) yang dapat membantu petani mengidentifikasi setiap permasalahan pertanian dengan solusi tepat guna.
Bisakah kemajuan itu juga diterapkan dan menjadi solusi sektor pertanian di tanah air? Lalu jika teknologi digital/informasi diaplikasikan di negeri ini, apakah otomatis mempu meningkatkan hasil produk pertanian dan tingkat kesejahteraan petani? Sebab tingkat pendidikan petani Indonesia sebagian besar rendah dan mereka tidak melek teknologi. Bagaimana mengatasinya? Sebab jika aplikasi teknologi digital pertanian ini diterapkan tanpa diimbangi dengan memperbaiki kognisi petani, lagi-lagi hasil produksi petani yang melimpah hanya akan menjadi bancakan para kapitalis yang berwujud "monster" digital.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Revitalisasi Industri di tengah Pelemahan Rupiah

Ekonomi Indonesia di triwulan pertama 2018 menyiratkan harapan sekaligus sedikit kekhawatiran. Petumbuhan ekonomi diharapkan tembus pada 5,4 persen seperti yang diharapkan pemerintah (APBN), dan 5,3 persen seperti diramal oleh Bank Dunia dan ADB. Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama 2018 diperkirakan mencapai 5,1 persen yang ditopang oleh membaiknya permintaan domestik, khususnya investasi. Terutama sektor properti dan non properti terkait laju pembangunan infrastruktur di tanah air.

Tantangannya, harga minyak dunia yang tembus di atas 62 dolar AS per barel dan perekonomian Amerika Serikat (AS) yang terus menguat akibat meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS, serta ekspektasi terhadap rencana kenaikan suku bunga ‘The Fed’ 3-4 kali pada tahun ini. Menguatnya ekonomi AS diperkirakan menjadi penyebab merosotnya rupiah sejak Jumat (20/04/2018) pekan lalu hingga Selasa (24/04/2018) bertengger di angka Rp14.000 per dolar AS, atau menjadi mata uang yang paling lemah di Asia.

Imbas penguatan dolar AS juga melemahkan 9 mata uang negara Asia lainnya, namun rupiah terdampak paling parah. Pelemahan rupiah 0,78 persen, lebih tinggi dibanding Won Korea (0,53 persen) dan Rupee India (0,47 persen). Hingga Maret 2018 lalu, rupiah sudah terdepresiasi 1,13 persen akibat perang dagang AS–China. Padahal Bank Indonesia telah melakukan intervensi di pasar valas maupun SBN dalam jumlah yang cukup besar untuk menjaga stabilitas rupiah.

Seberapa jauh pengaruh depresiasi rupiah terhadap dolar AS ini dapat mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia, khususnya terhadap target-target pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak? Padahal, ekonomi dunia disebut sedang kembali tumbuh ke angka 3,9 persen (2018) meski diperkirakan turun 3,7 persen pada 2019. Moody’s rating saja baru memberikan peringkat sovereign credit rating Indonesia dari Baa3 pada 8 Februari 2018 (positive outlook) menjadi Baa2 pada 13 April 2018 (stable outlook). 

Bagaimana jika pelemahan rupiah dan aksi capital outflow terus terjadi? Kebutuhan dolar AS dalam negeri terhitung tinggi, apalagi kebutuhan impor BBM RI yang 60 persen harus diimpor, juga impor barang modal dan bahan baku yang belakangan disebut meningkat signifikan. Terlebih bagi korporasi yang punya kewajiban dalam mata uang asing, jelas akan memberi dampak pada dunia usaha.
Namun, otoritas fiskal dan moneter RI masih optimistis. Beberapa indikator disebut masih baik, misalnya sektor makro dan domestik, di samping inflasi yang rendah. Keseimbangan neraca ekspor juga disebutkan berpotensi membaik, sementara defisit transaksi berjalan lebih didorong oleh meningkatnya impor barang modal dan bahan baku.

Tetapi dari gambaran ekonomi yang disebutkan masih bisa diandalkan itu, lagi-lagi kita harus bertanya mengapa sektor industri manufaktur seolah tidak tersentuh? Pertumbuhan industri manufaktur hanya 4,25 persen di bawah PDB. Padahal, sektor manufaktur amat butuh revitalisasi karena dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja paling besar, potensial menaikkan penerimaan pajak dan menjadi basic yang kuat bagi fundamental ekonomi.
Kondisi gonjang ganjing perekonomian dunia lumayan bisa diredam jika sektor manufaktur tumbuh kuat. Apalagi jika kemudian ekspor yang ada tidak hanya melulu dari ekspor komoditas primer. Sampai kapan gejala deindustrialisasi ini seolah dibiarkan?

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Mengkritisi Paket Deregulasi Ekonomi

Menteri Energi dan Sumber Saya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan, Rabu (6/9), dikritisi habis DPR atas delapan regulasi yang masih berlaku di sektor ESDM. Regulasi itu dinilai menghambat investasi, sehingga dikeluhkan dunia usaha. Suara  wakil rakyat yang juga mewakili suara dunia usaha ini tentu menarik.

Kedelapan regulasi itu, mulai dari persyaratan izin ekspor mineral, pokok-pokok perjanjian jual-beli listrik, hingga soal pengawasan kegiatan usaha di sektor migas. Jonan berjanji akan mengevaluasi kasus per kasus dan menindaklanjuti regulasi bermasalah itu. Kementerian ESDM sendiri, telah berusaha memperlancar iklim usaha dengan menyederhanakan proses perizinan sektor migas, dari 42 menjadi 6 izin.

Protes atas regulasi internal kementerian bukan hanya kali ini saja. Akhir Mei 2017, dunia usaha memprotes Menko Perekonomian Darmin Nasution. Yaitu, akibat 12 larangan terbatas (lartas) baru. Padahal 9 di antaranya tak sesuai dengan paket deregulasi ekonomi. Kok bisa ya lahir aturan kementerian yang bertentangan dengan semangat 13 paket deregulasi ekonomi?

Padahal deregulasi lima bidang usaha yang diumumkan MenKo Perekonomian, Darmin Nasution, Rabu 27/1/2017, bertujuan menindaklanjuti 13 paket kebijakan ekonomi jilid IX yang diberlakukan sejak September 2015. Yaitu untuk mempersingkat perizinan ekspor, membenahi sistem logistik, dan membuat road map industri logistik modern. Diharapkan deregulasi tersebut bisa meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Masalahnya, pada level mana terjadi ketidaksinkronan paket deregulasi ekonomi dengan praktek di lapangan? Padahal, para pengambil kebijakan di Kementerian semua berdalih telah berkoordinasi dengan segenap aparatur di bawah?

Indonesia sejak dulu dikenal sebagai negara “Die Hard” bagi investor dalam negeri maupun asing. Dari soal pajak, birokrasi yang mata duitan dan bertele-tele, biaya siluman, hingga Dwelling Time  yang mencapai 4,7 hari. Belum lagi posisi larangan terbatas (Lartas) Indonesia saat ini masih 51 persen lebih dari 10.826 pos Tariff Harmonized System (HS) Buku Kepabeanan RI. Padahal rata-rata ASEAN hanya 17 persen, lho?

Masalah ketidaksinkronan sebenarnya bisa diselesaikan jika koordinasi antar lini kementerian  berjalan baik.  Tapi adakah political will semua pihak?

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(Pso)

(Baca selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Mengincar Posisi Lima Besar Ekonomi Dunia

Indonesia bakal berada di peringkat 5 dari 32 negara yang diproyeksikan jadi kekuatan ekonomi terbesar dunia tahun 2030. Proyeksi Pricewaterhouse Coopers (PwC) itu ditelisik dari produk domestik bruto (PDB/ GDP) tiap negara sesuai paritas daya beli (purchasing power parity –PPP). Empat negara teratas, Jepang 5,6 triliun dolar AS; India 19,51; Amerika Serikat 23,47; dan China 38 triliun dolar AS. Seoptimistis itukah dunia menilai geliat Indonesia?

Dengan perkiraan PDB 5.424 triliun dolar AS, Indonesia mengungguli Rusia, Jerman, Brasil, Meksiko, Inggris, dan Perancis. Padahal potensi ekonomi dunia yang lebih dikenal malah BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Mengapa Rusia dan Brasil bisa tersalip Indonesia? 

Setelah Perancis,  21 negara ber-PDB di bawah 3 triliun dolar AS adalah Turki, Arab Saudi, Korsel, Italia, Iran, Spanyol, Kanada, Mesir, Pakistan, Nigeria, Thailand, Australia, Filipina, Malaysia, Polandia, Argentina, Bangladesh, Vietnam, Afsel, Kolombia, dan Belanda.

Dalam The long view: how will the global economic order change by 2050?, laporan pemeringkatan 32 negara berdasarkan nilai konstan 2016 itu, PwC menemukan selama 13 tahun terakhir beberapa negara ternyata bertahan di daftar teratas. Tapi tak sedikit negara yang tergelincir. Tren itu akan berfluktuasi hingga tahun 2030. Seperti apakah dinamika perekonomian global itu?

Ekonom Inggris Angus Madison dalam Monograph 2007: Contours of the World Economy in 2030 AD, punya temuan 10 peringkat teratas yang sama. Yang menarik malah temuan Proyek Statistik Madison atas 15 ekonomi terbesar dari PDB/PPP sesuai Statistik Sejarah Ekonomi Dunia: 1-2008 AD. Ternyata Indonesia selalu masuk 15 besar sejak era kolonial Hindia Belanda. Tahun 1870 peringkat 11; juga 1880. Tapi 1900 turun ke 12. 1910 kembali 11, juga 1920. 1930 naik 10, 1940 tetap. Begitu merdeka  tahun 1950 anjlok 14. Juga 1960. Tahun 1970 akibat gejolak 1965 tergusur dari 15 besar. Lalu trends membaik tahun 1980 dari 14, 1990 naik ke 13, 2000 ke 12, 2010 jadi 11. Mungkin itu pertanda, bukan mustahil 13 tahun lagi jadi peringkat 5. Realistiskah?

Besaran populasi ternyata ikut menentukan peringkat. Berarti consumption lead growth. Mumpung dikaruniai bonus demografi, mampukah SDM kita mengolah SDA dan semua potensi, termasuk prospek “Ekonomi Syariah”?

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(dpy)

(Baca Tanggapan Selengkapnya di Watyutink.com)

Upaya Menaikkan Daya Beli Rakyat

Data makro ekonomi dalam RAPBN 2018 cukup bagus, namun jangan abaikan indikator di sektor mikro. Pertumbuhan ekonomi tercatat  5,01 persen sesuai target. Peringkat laik investasi pun dianugerahkan oleh Standard and Poors. Sayang indikator baik itu terusik berita penutupan beberapa gerai Hypermart, ritel kondang Matahari Group. Sekecil apapun, gejala tak lazim itu tentu layak disimak.

Meski penutupan disebut hanya atas gerai yang tak menguntungkan, itu niscaya mengindikasikan ada penurunan penjualan. Pertanyaannya, penurunan penjualan itu dalam arti sekadar susut omset, atau daya beli yang menurun? Jika itu ternyata penurunan daya beli, jelas ini bukan hanya masalah mikro ekonomi, tapi telah menjelma jadi masalah makro ekonomi.

Aprindo, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, awal Juli 2017 mengaku bisnis ritel anjlok sejak awal 2017. Awal semester I/2017 sempat tumbuh 4,4 persen, namun Mei  susut  jadi 3,6 persen. Juga bisnis makanan dan minuman. Selama Idul Fitri hanya tumbuh 10 persen. Padahal Lebaran tahun lalu 50 persen.

Anomali lain, penjualan properti di Bali biasanya laris diminati mayoritas konsumen asal  Jakarta. Kini sepi pembeli. Adakah kaitan kelesuan pasar properti ini dengan kian efektifnya gerakan pemberantasan korupsi?  Kian terbatasnya ruang gerak koruptor juga tercermin pada kian sempitnya celah pencucian uang?

Benarkah ada penurunan daya beli? Aneh. Kesepian pusat perbelanjaan elektronik di Glodok, ternyata diimbangi oleh peningkatan angka penjualan bisnis online. Pola belanja ditengarai bergeser ke online-shop.  Ada anekdot, orang ke mal hanya cuci mata sambil makan minum, tapi belanja via gawai ke online-shop.

Selama beberapa periode pemerintahan, para menteri ekonomi kerap menyuguhi khalayak angka fundamental ekonomi Indonesia yang disebut “kuat”.  Juga para pakar seolah berlomba memberi info serupa.  Tapi, yang dirasakan rakyat di pasar, acap jauh berbeda. “Beli saja sama pakar di koran, Pak,” ujar pedagang dengan sinis.

Mengapa timbul anomali perekonomian yang aneh tapi nyata? Mengapa sektor riil/industri terasa kian tak ramah? Angka layoff  (PHK) meninggi, padahal peluang kerja baru nyaris nihil. Gerangan apa yang terjadi?

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)  

Optimalisasi Zakat Harta Untuk Dana Haji, Bolehkah?

Zakat Harta bisa dikelola profesional, seperti pajak. Dana zakat, hemat Menteri Keuangan Sri Mulyani, bisa dijadikan salah satu potensi keuangan pengentas kemiskinan, bahkan pengurang ketimpangan di masyarakat. Wajar. Potensi dana zakat selama ini diperkirakan bisa mencapai Rp217 triliun. Hampir sama dengan anggaran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) di APBN 2018 yang mencapai Rp267,8 T.

Karena itu dalam 2nd Annual Islamic Finance Conference bertema The Role of Islamic Finance in Eradicating Poverty and Income Inequality di Yogyakarta, Sri Mulyani  sengaja menantang para akademisi dan ahli syariah mencari formulasi jitu dalam mengefektifkan potensi dana umat tersebut.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Zakat, menegaskan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai badan pengelola, pengumpul, dan distribusi zakat. Namun Baznas tiap tahun baru mampu menghimpun 1,2 persen dari potensi Rp217 triliun.

Saran Menkeu memang menantang. Jika mayoritas miskin teratasi, itu sama saja mengatasi kefakiran mayoritas umat. Tapi mengingat ini terkait syariah, apa hal itu tidak memicu kontroversi lagi? Jangan malah “kisruh” seperti  dana haji yang sempat terwacana hendak digunakan. Maklum, ada yang menyindir pemerintah seolah panik akibat defisit anggaran.

Simak saja, Tax Amnesty terkesan gagal akibat ketidaktegasan law enforcement atas pengemplang pajak lokal. Padahal ada sekitar Rp11.000 triliun potensi dana orang Indonesia di luar negeri.
Kesan panik yang dihembuskan para oposan Jokowi wajar terbentuk, mengingat  pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo Oktober mendatang telah mencapai Rp221 triliun. Padahal program infrastruktur, pengentasan kemiskinan pada APBN 2018 butuh dana cukup besar.

Pertanyaannya, bukankah di samping penerimaan pajak, migas, pajak migas, dan cukai, masih banyak potensi penerimaan dalam negeri yang bisa digenjot? Bukankah program Bekraf,  hasil laut, dan pertanian/perkebunan, juga berpotensi luar biasa? Bahkan kandungan gas bumi maupun mineral lain di Indonesia konon terbesar di dunia.

Mengapa kita tak kunjung sukses mengoptimalkan potensi-potensi tersebut? Masalah kendala teknologi? Modal? Atau mental? Tapi, jangan-jangan ini cara Sri Mulyani bilang ke Presiden, “Dana kita kurang. Bangun yang perlu saja, Pak”.

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Ketika Modal Asing Menjadi Piihan Sulit

Sejak UU No 1 tahun 1967 membuka keran modal asing, eksploitasi sumber daya alam dari hulu hingga hilir terus bergulir dan berkembang. Mengambil alih tanah dan sawah produktif milik rakyat dengan ganti rugi ala kadarnya, marak terjadi. Alih teknologi, pemanfaatan tenaga lokal, kemitraan dengan usaha kecil setempat, tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Investasi asing yang diharapkan menjadi lokomotif ekonomi nasional ternyata menjelma jadi monster bagi ekonomi rakyat. Bekerjasama dengan komprador dalam negeri, modal asing menjadi imperium bisnis yang sulit dikendalikan. Alotnya perpanjangan “Kontrak Karya”/IUPK PT Freeport adalah satu contoh kasus.  

Kasus kerusakan lingkungan, “pemiskinan” sekitar areal investasi, dan menyusutnya lahan pertanian, merupakan contoh begitu leluasanya modal asing masuk. Ini akibat kelemahan kontrol negara karena regulasi yang tak berpihak pada kepentingan rakyat. Modal asing juga sukses "mengubah" budaya dan perilaku keseharian kita. Contoh, segala peralatan dan perlengkapan rumahtangga kian cenderung penuh pada pilihan, cara, dan gaya hidup modern barat.

Terhadap modal asing, kita tak perlu bersikap anti. Asal lewat regulasi yang tegas dan ideologis, pemerintah bisa menjadikan PMA sebagai mitra usaha ekonomi rakyat untuk tumbuh dan berkembang bersama. Seperti regulasi yang disusun melindungi sektor ekonomi rakyat (koperasi dan UMKM) serta BUMN.

Mengapa modal asing yang diharapkan jadi madu, malah berubah jadi racun yang mematikan? Di mana letak salahnya? Idealnya ?

Jika pemihakan sektor ekonomi rakyat cukup kuat, maka  kasus 40 tahun eksplorasi ladang gas oleh perusahaan asing di Aceh tanpa memberikan kemakmuran bagi warga sekitar, niscaya akan dapat dihindari. Aceh tentu tidak jatuh menjadi provinsi miskin di Sumatera seperti sekarang.

Rasanya, saat ini butuh lebih dari sekadar penyusunan regulasi untuk melindungi sektor ekonomi rakyat. Tapi juga sikap mental “Trisakti” harus diterapkkan dalam praktik. Mumpung presidennya Jokowi yang pro "Trisakti".

Masalahnya, siapkah kita berdaulat secara ekonomi dan politik? Kebijakan seperti apa yang bisa menjadikan modal asing sebagai mitra usaha ekonomi rakyat? Apa yang dibutuhkan agar iklim berusaha kondusif bagi pengembangan sektor ekonomi kerakyatan?

Bagaimana pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Menilik Pemerataan Pendapatan Nasional

Pemerintah mencanangkan “Pemerataan” sebagai target utama pembangunan ekonomi Indonesia tahun 2017. Sayang,tekad mulia ini belum didukung penuh realita keseharian perekonomian nasional. Belum ada data akurat yang mendukung bahwa pemerataan itu berjalan sesuai harapan.

Pengelola perekonomian mengandalkan dua alat kelola: fungsi moneter dan fungsi fiskal. Moneter itu mengelola tingkat bunga dan peredaran uang. Fiskal mengatur pengendalian anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kedua alat pengelolaan itu, menurut sejumlah pengamat, sebaiknya dilandasi ideologi keberpihakan pada kelompok ekonomi lemah. Tanpa keberpihakan, niscaya sulit mewujudkan mekanisme pemerataan ekonomi yang bermanfaat bagi selluruh rakyat.

Implementasi pemihakan bisa diakomodasi dalam regulasi pajak, Realitas perpajakan saat ini cenderung menyamaratakan tarif pajak bagi semua wajib pajak, sehingga membebani golongan ekonomi lemah. Ini kentara dari pengenaan tarif pajak tidak langsung, seperti pajak penjualan (PPn), ketimbang tarif pajak langsung. Sehingga kuli pelabuhan harus membayar PPn air mineral yang sama dengan yang dibayar seorang manajer.

Contoh lain, tarif flat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi semua golongan. terlihat dari tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di kawasan Menteng dan Kebayoran Baru Jakarta. Tak sedikit rumah di situ beralih kepemilikan ke golongan ekonomi kuat, akibat pensiunan PNS, veteran, dan ahli warisnya yang berpenghasilan terbatas, tak kuat menanggung PPN. Beruntung sejak Marie Muhammad jadi Dirjen Pajak tahun 1990an, mengingat jasa para veteran/PNS kepada negara, mereka diberi fasilitas keringanan pembayaran PBB.

Masalah lain soal Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPN BM) yang diberlakukan atas impor buku referensi sains dan iptek. Aneh, sarana pencerdas kehidupan rakyat kok malah dipajak mahal?

Akibat banyak politik perpajakan yang tak adil seperti diurai di atas, upaya mencapai pemerataanpun kian sulit dilaksanakan. Apa kebijakan insentif pajak yang tak adil itu bisa segera direvisi agar berpihak kepada golongan ekonomi lemah dan merangsang pemerataan pendapatan? Apa aparat pajak mampu konsisten berbenah diri meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam melakukan sosialisasi keadilan pajak?

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Balada Gagal Serap Anggaran Daerah

Masalah penyerapan anggaran APBD yang minim kembali dihebohkan. Beberapa provinsi serapan anggarannya masih rendah.  Misalnya, Kalimantan Utara dan Papua. Kalimantan Utara hanya menyerap 27,17 persen APBD, dan Papua yang hanya 20 persen APBD. Total anggaran yang masih “nganggur” sejumlah Rp220 triliun di seluruh Indonesia.

Sebabnya beragam. Karena lamanya  pencairan anggaran oleh pusat, sulitnya mencari SDM berkualitas untuk melaksanakan kualifikasi tender,  sampai dengan menyediakan SDM yang terampil menata sistem perencanaan dan penganggaran secara elektronik. Belum lagi campur tangan legislator daerah dalam pengesahan hasil Musrenbang.

Puncaknya, keengganan pejabat daerah dalam membelanjakan APBN/APBD dengan alasan takut tersangkut masalah hukum.  

Sebelum masalah penyerapan anggaran ini kembali muncul, pada April lalu efektifitas dan efisiensi penggunaan APBD terkait prioritas program juga menjadi perhatian pemerintah pusat. Daerah dianggap tidak fokus dan tidak cermat menetapkan skala prioritas program.

Menjadi pertanyaan, mengapa perencanaan dan penyerapan APBD  selalu bermasalah? Bukankah di era otonomi daerah semestinya daerah sudah menyiapkan semua infrastruktur anggaran dengan baik?
Lalu para perencana di pusat, apakah tidak memahami persoalan umum di daerah tentang efektifitas serapan anggaran yang selalu bermasalah setiap tahun?

Konon, Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) daerah masih terkendala oleh beberapa hal. Antaran lain “intervensi” legislator daerah yang merasa mempunyai hak budget. Hasil Musrenbang eksekutif seringkali berubah ketika disahkan DPRD. Bisa jadi terkait motif kepentingan politik maupun ekonomi legislator.

Keadaan seperti ini pasti mengganggu  pertumbuhan ekonomi daerah. Pembangunan daerah yang menyangkut kepentingan publik pasti tertunda dan berdampak kuat pada dinamika perekonomian daerah tersebut.

Mengapa masalah minimnya penyerapan APBD ini tidak pernah diantisipasi dan  dituntaskan oleh pusat? Apa tidak bisa, sejak awal perencanaan sampai dengan penyusunan anggaran dilakukan secara  komprehensif agar implementable di berbagai daerah? Sampai kapan ‘gagal serap’ ini akan berlangsung? Apakah disengaja atau ada penjelasan lain?

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Pajak Kita dan Ambiguitas Peraturan Pajak

Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan gaji pegawai. APBN 2017 menargetkan 85,6 persen (Rp1.498 triliun) penerimaan negara  berasal dari pajak. Sisanya 14,3 persen (Rp250 triliun) dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan 0,1 persen (Rp1,4 triliun) dari hibah.

Beberapa pengamat mencatat, penerimaan pajak yang dipungut dari masyarakat dan pelaku usaha, kurang optimal. Gagal dalam memungut pajak  penghasilan dari masyarakat kelompok terkaya. Padahal, pajak bisa digunakan sebagai instrumen untuk meredistribusi pendapatan dari kelompok kaya ke masyarakat miskin.

Dalam kasus Indonesia, betulkah pajak bisa menjadi instrumen paling efektif untuk mengatasi kesenjangan sosial? Bukankah bagi Indonesia,  kebijakan dan pilihan sistem ekonomi liberal kapitalistik yang menjadi masalahnya? Sama sekali tidak pro rakyat. Lalu, apakah pajak bisa memutarbalikkan pilihan sistem ini?

Memang,  dari negara maju, pajak yang dipungut dari masyarakat terkaya berhasil menurunkan ketimpangan pendapatan. Tapi itu dapat terlaksana dengan beberapa prasyarat. Aturan main sudah berjalan baik.  Juga penegakan hukum, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan kepatuhan terhadap penegakan hukum, redistribusi pendapatan dapat berjalan baik karena ditopang sistem yang berkeadilan bagi semua. Terbuka lebar kesempatan berusaha bagi rakyat kebanyakan.

Di Indonesia,  perolehan pajak yang disimpan di lembaga-lembaga keuangan negara (bank pemerintah) pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh kalangan yang memiliki aset memadai sebagai jaminan bank. Sesuatu yang amat sulit dipenuhi oleh rakyat kebanyakan.

Dan tragisnya, masih ada saja orang kaya yang belum mengikuti program Tax Amnesty dan bahkan tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).  Tidak aneh, bila perolehan pajak penghasilan dari kelompok individu yang potensial masih amat kecil dibanding perolehan PPh karyawan.
Mengapa kebijakan dan adminstrasi perpajakan kita tidak mampu menjangkau kelompok masyarakat terkaya? Padahal kita  sudah menerapkan tarif progresif pajak (UU No 36/2008).   Kendala hukum atau mutu kerja petugas pajak kita?

Dengan kondisi demikian, masihkah pajak dapat diharapkan sebagai instrument efektif untuk mengatasi kesenjangan sosial ?

Apa pendapat Anda ? Watyutink ?
(pso)

(Baca Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Kritik Richard Robison dan Pendewasan Bangsa

Prof. Richard Robison, penulis “Indonesia: The Rise of Capital, baru-baru ini menyindir sementara kalangan di Indonesia yang menyatakan Indonesia berpotensi menjadi kekuatan baru di Asia. Menurutnya, dasar-dasar argumen tentang kebangkitan itu sangat lemah. Selain tidak nampak adanya perencanaan maupun upaya sistematis Indonesia untuk memproyeksikan kekuatan ke pentas internasional, Indonesia juga dinilai tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi setting of rules sebagaimana dimiliki negara yang kuat.

Contohnya, ihwal pertarungan sengit Eropa dan Amerika dalam isu perdagangan dan hak cipta intelektual. Selama ini hegemoni selalu dipegang oleh AS. Negara lain termasuk Indonesia sangat sulit untuk masuk dan mempengaruhi dua hal itu. Menurutnya, Indonesia mungkin punya intensi untuk menunjukkan pengaruh, tapi dalam bidang apa?

Sebagai bangsa yang besar, kita tidak perlu marah apalagi galau menyikapi sinyalemen Robison di atas. Kita cukup introspeksi diri saja. Bangsa yang tangguh adalah mereka yang mau menerima kritik dari pihak lain. Sebab, para pengeritik biasanya adalah para pengagum tersembunyi.

Tapi sebaiknya kita mulai saja mengelaborasi apa-apa yang dikritik oleh Robison, terutama ihwal tidak nampak adanya perencanaan maupun upaya sistematis Indonesia untuk memproyeksikan kekuatan ke pentas regional apalagi internasional. Dari sinyalemen tersebut, memang seolah bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat lemah secara metodologis. Membuat planning dengan sistematika yang benar saja tidak mampu. Itu jelas ‘ngenyek’. Padahal, wilayah metodologi pasti menjadi makanan sehari-hari dari para ekonom dan ahli sosial politik Indonesia yang selama ini menjadi punggawa kabinet dari periode ke periode. Apanya yang harus direncanakan secara sistematis? Kekuatan apa yang gagal dipentaskan oleh Indonesia?

Satu-satunya kekuatan yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Dari iklim tropis dengan udara hangat kuku, sampai isi perut bumi dan hasil laut, Indonesia juara!
Kekayaan SDA itulah yang menjadikan Indonesia kawasan yang diperebutkan, mulai bangsa kulit putih sampai kulit kuning sejak dulu kala. Oleh karenanya, satu-satunya kekuatan itu harus dipentas-dunia kan secara elegan. Presiden Sukarno dan para founding fathers yang kemudian menyadari potensi SDA Indonesia bakal jadi ajang perebutan bangsa lain sudah mewanti-wanti melalui Pasal 33 UUD 1945. Tapi sekarang semua sudah tergadaikan. Sehingga oleh para penggugat dimunculkan idiom Asing-Aseng sebagai pemilik dan penikmat SDA di negeri ini.

Jika upaya menjadikan kekayaan SDA Indonesia sebagai kekuatan utama bargaining gagal dimainkan, maka sinyalemen Robison bisa jadi benar. Saat ini, Indonesia masih berjuang mewujudkan kedaulatan nasional dalam pemanfaatan hasil SDA, bertarung dengan kekuatan-kekuatan pemodal raksasa dunia. Apakah hal itu yang disebut tidak punya planning dan upaya sistematis dalam memosisikan Indonesia di kancah dunia?

Agak repot memang membantah Robison, terlebih membaca kinerja ekonomi Indonesia sejak 1981-2016. Dari 18 negara yang disurvei, Indonesia satu-satunya negara yang mengalami penurunan rasio perdagangan terhadap GDP atau ((X+M)/GDP).  Rasio perdagangan RI terhadap GDP pada 1981 sebesar 53 persen, pada 2016 tinggal 37,4 persen. Ekspor industri manufaktur RI pada 2017 ada di urutan 30 negara dengan 47,7 persen total ekspor manufaktur.  Hanya pada 2017 ekspor dan impor RI bisa tumbuh perlahan, namun dengan pertumbuhan ekonomi yang stuck di angka 5 persen sejak 2013. Ranking GCI dan EoDB yang pada 2017 naik peringkat membutuhkan effort yang ketat untuk tetap mempertahankan struktur perekonomian yang sehat.

Bahkan untuk menjadi leader di kawasan ASEAN, dimana seharusnya Indonesia memanfaatkan pasar kawasan regional yang lebih luas dan terbuka setelah Free Trade Area (FTA), malah dimanfaatkan oleh negara lain sehingga kalah dalam pertumbuhan ekonomi dengan Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Apalagi dengan China.

Hal-hal di atas ikut menentukan kemampuan setting of rules Indonesia dalam berbagai hal, terutama perdagangan internasional dan hak cipta. Tidak seperti Sukarno yang ‘leading’ sebagai salah seorang pemimpin berpengaruh dunia.

Selain lemah secara metodologi, inisiasi dan inovasi, akan lebih pening jika membaca sinyalemen Robison berikutnya bahwa tidak ada intensi dan kapasitas pemimpin ekonomi dan politik untuk memproyeksikan kekuatan, sebagai salah satu penyebabnya. Karenanya kritik Robinson harus dimaknai sebagai cambuk kritis yang positif. Agar rakyat Indonesia tetap eling lan waspada!

(Baca juga Berpikir Merdeka di Watyutink.com)

Karut Marut Tenaga Kerja Asing (TKA) dan Dilema Buruh Kita

Kaum lemah dan tak berdaya seperti buruh Indonesia, kini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga dua kali. ‘Keapesan’ pertama, ketika pada 2015 lewat PP Nomor 78 Tahun 2015 kenaikan upah buruh ditetapkan hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal di seluruh dunia kenaikan upah buruh selalu melibatkan serikat pekerja, lagipula nun pada masa orde baru saja, kenaikan upah harus didahului survei pasar untuk menentukan kebutuhan fisik minimum (KFM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) dimana serikat buruh dilibatkan dalam survei tersebut. Setelah itu diadakan perundingan untuk menghasilkan ketetapan perubahan/kenaikan upah minimum. Namun kini kenaikan upah hanya ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi semata. Untuk diketahui, penetapan inflasi dan pertumbuhan ekonomi biasanya ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).   

‘Kesialan’ kedua, arus yang menderas dari pekerja asing terutama dari China ke Indonesia telah dipermudah oleh Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang TKA di mana pada Pasal 10 perpres tersebut menyebutkan pemberi kerja tidak lagi wajib memiliki RPTKA (Rencana Penggunaan TKA) untuk pemegang saham, pegawai diplomatik dan jenis pekerjaan pemerintah yang membutuhkan TKA. Tambahan lagi pada Pasal 6 ayat 1 perpres disebutkan TKA yang sedang bekerja diperbolehkan bekerja di perusahaan lain dalam posisi yang sama, juga diperbolehkannya TKA menggunakan izin tinggal sementara (VITAS) sebagai izin bekerja untuk hal-hal yang bersifat mendadak.

Ketentuan kemudahan masuknya TKA tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan setiap penggunaan TKA harus membuat RPTKA yang disahkan oleh Kemenaker.
Dengan tidak adanya RPTKA, bisa diartikan TKA tidak lagi memerlukan izin untuk bekerja di wilayah Indonesia, apalagi diizinkan pula untuk bekerja pada posisi yang sama di perusahaan lain, padahal masih bekerja di perusahaan pertama.

Dengan dua ‘keapesan’ di atas, tidak berlebihan kiranya jika disimpulkan bahwa buruh kita tetap dalam posisi yang semakin dilemahkan pada penentuan hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk kemanusiaan, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 27 ayat 2, Pasal 28 D ayat 2 untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, UU Nomor 13 Tahun 2013  tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh dan Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat.

Kapan saatnya kita bersepakat untuk tidak menjadikan buruh sekadar objek pelengkap penderita? Posisinya selalu dilemahkan sejak munculnya politik buruh murah ala Soeharto. Sayangnya, suara idealisme pembelaan buruh domestik dan kesempatan kerja bagi bumiputera saat ini bak teriakan di tengah padang pasir. Tidak ada yang mendengarkan. Terlebih dengan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang TKA yang membuka lebar pintu buruh asing untuk bekerja di Indonesia dengan segala keistimewaannya.

Sampai medio 2017 lalu, buruh asing—terbanyak dari China—tercatat mencapai angka 126 ribu orang. Bertambah 69,85 persen dibanding akhir 2016 yang masih sebanyak 74.813 orang. Banyak dari mereka merupakan buruh unskill alias buruh kasar, dari tukang sapu sampai tukang semen. Hal tersebut mau tidak mau menimbulkan kegelisahan bagi warga lokal yang kebanyakan masih menganggur menunggu kesempatan bekerja. Belum lagi selentingan bahwa upah pekerja dari China berkisar Rp15 juta per bulan. Sementara warga lokal paling banter Rp3,5 juta per bulan.

Repotnya, alasan diterbitkannya Perpres Nomor 20 Tahun 2018 antara lain untuk mempermudah investasi asing masuk. Sementara bagi investor asal China misalnya untuk proyek pembangkit listrik, memang ditawarkan dengan harga murah tapi harus satu paket dengan penggunaan buruh yang didatangkan dari China.

Dengan dibukanya kran bagi TKA, tantangan dan keruwetan yang dialami buruh Indonesia nampaknya akan berimbas pula pada pemberdayaan SDM Indonesia. Terutama mereka yang mengenyam pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Setiap tahun, sekitar 68 ribu lulusan perguruan tinggi menganggur dan 748 ribu lulusan perguruan tinggi ‘ditetaskan’. Soal ruwetnya, bagaimana memberdayakan sekian banyak ‘idle capacity’ di tengah kesempatan kerja yang semakin menyempit. Padahal kesempatan kerja adalah salah satu matarantai daya beli. 

Dari uraian di atas, nampaknya kita lupa pesan Nawacita yang bertekad memperkuat ekonomi kaum pinggiran termasuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi buruh. Jangan sampai kebijakan TKA membuka ruang tembak bagi lawan-lawan politik Jokowi yang gemar memberi stempel ‘Presiden’ pro pekerja asing. Atau...memang sengaja dibuka?!


(Baca Tulisan Berpikir Merdeka Lainnya di Watyutink.com)


Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...