Friday, October 28, 2011

SUMPAH SERAPAH KAUM MUDA 2011; Sebuah Refleksi Sumpah Pemuda 1928

Jangan bicara sumpah pemuda yang terjadi 83 tahun lalu. Sumpah kaum muda waktu itu memang cuma menegaskan bahwa kaum muda yang berkumpul, ingin diketahui sebagai sekumpulan angkatan muda dalam satu komunitas (calon) negara baru yang bernama Indonesia, yang berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu - dan itu sudah selesai.  Negara itu sendiri memang diproklamirkan 17 tahun kemudian oleh dwi tunggal Soekarno-Hatta.

Yang harus diperhatikan sekarang setelah 66 tahun Indonesia merdeka adalah : kaum muda yang tidak lagi mewarisi semangat revolusioner para pendahulu negara ini, dan berubah menjadi semangat memperkaya diri sendiri lewat beragam akal bulus.  Akal bulus itu sendiri terbentuk dari pengalaman bersama kaum muda yang melewati proses mobilitas sosial  (baca:keikutsertaan) sebagai kader partai ditingkat pemula, lalu menjadi kader inti partai, dan kemudian berkat nasib baik dan sedikit  kegigihan melobby elit partai tingkat daerah dan pusat, berhasil menjadi anggota legisatif dipusat ataupun di daerah. Dan dari sanalah ‘berkah alam’ itu turun keharibaan kaum muda.

Berkat kerjasama apik dengan kader senior partai di dewan perwakilan rakyat, juga kongkalingkong  dengan birokrat daerah/pusat dan juga pengusaha instan bentukan partai, maka ‘berkah alam’ itu terwujud lewat sim salabim diberbagai panitia anggaran rutin dan proyek daerah, dan lalu kaya rayalah komune-komune partai berkat ajian sakti petinggi-petinggi Dewan atau Partai.

Lalu dimanakah letak sumpah keramat kaum muda pada 1928 ? yang didalamnya-sesungguhnya-terkandung makna pemuliaan terhadap nasib bangsa dan tanah air ? jangan berhayal muluk-muluk bahwa kaum muda eksklusif dan wangi itu sempat berpikir tentang makna sumpah 83 tahun lalu. Atau bahkan repot-repot memikirkan sumpah yang sudah uzur.

Walaupun kebanyakan mereka dulunya adalah kader muda unggulan (semacam bibit) dari berbagai ormas pemuda yang terkenal dengan slogan-slogan normatif kenegaraan seperti kebhinekaan, keadilan sosial, keberpihakan kaum lemah, NKRI, wawasan nusantara, masa depan IPTEK, masa depan negara dan bangsa, dan lain-lain slogan pemanis dalam berlembar-lembar makalah dan konsep pidato, yang bertujuan agar dapat dilihat sebagai bibit unggul kaum muda. Siapa tahu dapat direkrut sebagai kader muda bangsa, atau syukur-syukur diangkat sebagai menteri atau wakil menteri, agar dapat memperbaiki nasib ninik mamak seketurunan mereka di kampung halaman.

Sumpah tinggal sumpah. Yang penting kaya raya, urusan penjara nanti saja. Toh, ada tetua-tetua  partai yang juga penguasa negeri yang dapat melindungi dan tinggal menunjuk sesuai kesepakatan, siapa yang jadi kambing hitam dan dikorbankan atas nama penegakan hukum. Yang penting kader unggulan selamat sehat wal afiat, dan urusan pemilihan raya mendatang semua pihak masih tegak dalam satu perahu.

Memang kaum muda yang berjaya itu tidak melulu datang dari kalangan partai, dari kalangan non partai pun tidak kalah ganas menerapkan ilmu aji mumpung. Bermodal kedekatan dengan elit pemerintahan, eit partai dan elit daerah, banyak kaum muda yang amat sukses bergelimang dollar berkat ajian sakti mandraguna pengelola negara sehingga semua proyek mereka jebol.  Pola yang disebut ‘patron klien’ ini sudah berlangsung lama dan merupakan warisan dari masa-masa gelap orde baru sehingga memunculkan barisan eksekutif muda kaya raya yang anti sosial. Warisan budaya tengik ini terus dijaga bahkan dengan  menyesuaikan beberapa peraturan yang akan menguntungkan oligarki sebagaimana disebutkan :

Para pelaku politik tidak hanya berjuang untuk sekadar memuaskan kepentingan-kepentingan pribadi sesaat dan atau kepentingan orang lain yang – menurut mereka – mereka wakili, namun juga berjuang untuk menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang konfigurasinya dapat menentukan siapa yang mungkin akan menang atau kalah dimasa mendatang. Sesungguhnya, peraturan-peraturan yang muncul akan sangat menentukan sumber-sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke dalam arena politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk. (“Transisi Menuju Demokrasi”; Guilermo O’Donnel, Philippe C Schmitter;1993) 

Agak menyedihkan jika sumpah (pengakuan) atas ke-indonesiaan kita hanya manjur di gegap gempitanya stadion utama Gelora Bung Karno (GBK). Ketika kesebelasan sepakbola nasional berlaga lawan tim dari Negara lain. Banyak pihak mengakui bahwa hati nurani mereka bergetar - mengalahkan ‘getarhati’ jika mendengar nama Tuhan disebut - ketika para penonton bersama-sama meneriakkan koor “Indonesia” berulang-ulang, walaupun kalah. Stadion GBK seolah menjadi saksi bahwa ‘semangat sumpah pemuda’ para penonton tetaplah bergelora lewat gocekan manis pemain sayap dan striker timnas. Termasuk didalamnya para tokoh muda yang ikut menonton dan meneriakkan nama negara.  Setelah perhelatan sepakbola selesai, semua kembali menjadi pepesan kosong.

Sumpah Pemuda 1928 mestinya dimaknai sebagai ideologi pemuda yang berniat membawa segenap anak bangsa kepada kemakmuran yang berkeadilan sosial, sadar akan pentingnya keadilan agar negara- bangsa tidak terbawa kepada gejolak disintegrasi akibat perilaku segelintir  elit yang sibuk memenuhi pundi-pundi kekayaan demi memuaskan kepentingan pribadi dan kepentingan pemilik modal, asing maupun domestik. Sehingga seluruh harkat dan martabat anak bangsa tergadai.

Bangsa yang satu, tanah air yang satu, mestinya juga punya satu kesatuan bahasa dan pemahaman bahwa seluruh rakyat mempunya hak daulat atas tanah air Indonesia, sehingga eksploitasi terhadap sumber daya alam (SDA) harus diikendalikan dan hasil bumi juga dapat dinikmati oleh segenap rakyat. Tambang emas, batubara, nikel, dan lainnya di beberapa daerah juga mestinya menjadikan penduduk sekitar hidup makmur dan berkecukupan dan tidak hanya menjadi pelengkap penderita sebagaimana yang terjadi selama ini.  Peristiwa pendudukan tambang Freeport di Papua mestinya dijadikan titik evaluasi menyeluruh atas kebijakan pengelolaan SDA oleh pemilik modal,  agar memperhatikan aspek keadilan terhadap kompensasi yang didapat karyawan dan juga hak mendapatkan bagian kemakmuran buat penduduk. Pemilik modal selama ini telah mendapatkan bagian keuntungan terlalu besar dalam bagi hasil dengan negara dan warga lokal.

Sumpah Pemuda juga harus memaknai arti perjuangan kaum muda belia dipedalaman sebuah propinsi ketika berjuang setiap pagi buta demi dapat masuk sekolah dengan berenang menyeberangi sungai dan semak. Setiap malam belajar hanya dengan cahaya pelita tanpa ketersediaan listrik.  Sumpah Pemuda juga mestinya melihat perjuangan para dai muda di semua pelosok daerah di Indonesia guna membangun masyarakat pedalaman yang beragama dan beradab, dengan membangun sekolah-sekolah agama darurat tanpa modal sedikitpun dan tanpa menerima gaji bulanan. Semuanya dilakukan dengan ikhlas dan penuh pengorbanan.

Melihat juga dengan mata hati cara hidup pemulung-pemulung muda dan buruh-buruh bangunan muda di ibukota agar dapat membeli nasi warteg lima ribuan rupiah. Untuk pulang kampung menengok anak istri harus terlebih dahulu mengumpulkan botol-botol plastik bekas Aqua.  Belum lagi kaum muda buruh pabrik, kaum muda yang terpaksa menerima undangan lembaga peneliti atau pendidikan asing di luar negeri karena negara tidak mempunyai goodwill dalam memberikan penghargaan yang layak dan pantas bagi kaum muda berotak jenius, kaum muda guru honorer yang menjerit minta diakui sebagai bagian dari tenaga pengajar nasional, kaum muda yang terpaksa bekerja sebagai debt collector dengan resiko terbunuh karena kelangkaan lapangan kerja, kaum muda yang celaka karena sibuk berkumpul dipojok-pojok gang sempit menikmati narkoba dan ikut tawuran antar kampung, sebagai bentuk dari frustrasi sosial, juga kaum muda yang masuk penjara karena mencopet, merampok, dan membunuh.

Lalu dimanakah letak sumpah keramat kaum muda 1928 ? yang didalamnya-sesungguhnya-terkandung makna pemuliaan terhadap nasib bangsa (anak bangsa, kaum muda) dan tanah air ?

Mengharapkan pembinaan kaum muda dari rasa frustrasi sosial berkepanjangan kepada seonggok Kementrian Pemuda dan Olahraga nasional mungkin terlalu naïf. Kementrian yang ‘ketua’nya berlagak pilon di pengadilan, ketika sekretaris kementrian melakukan tindak KKN berjamaah dengan pengusaha fasilitas SEA GAMES.  Juga naïf mengharapkan lapangan pekerjaan terbuka seluas-luasnya kepada Kementrian Tenaga Kerja yang ‘ketua’ nya juga berperilaku sama, berlagak pilon, ketika jajaran dibawahnya juga KKN dgn pengusaha.

Sadarkah kita semua bahwa kaum muda yang 83 tahun lalu bersumpah keramat sekarang tengah dimandulkan dengan jebakan uang, agar tidak mempunyai legitimasi moral untuk dapat memimpin masa depan negeri yang indah ini ?

Memberi amanah kepada kaum muda yang diberi stigma ‘sama saja dengan angkatan sebelumnya’ untuk dapat memimpin negeri, apalagi mengangkat harkat kaum muda,  tidak akan mendapatkan kredit kepercayaan publik. Publik akan kembali melihat pada angkatan yang sudah mapan, yang mampu memenuhi semua selera dan kepentingan-kepentingan oligarkis-birokrat. Apalagi selera pemilik modal.

Teriakan kaum muda di jalan-jalan Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada April – Mei 1998 yang menggaungkan revitalisasi sumpah pemuda 1928 dan mengubah bunyi sumpah keramat menjadi bangsa yang gandrung akan keadilan, berbahasa kebenaran dan bertanah air tanpa penindasan, saat ini benar-benar telah dikencingi oleh para pengkhianat revolusi reformasi 1998.  Revitalisasi sumpah yang berdarah-darah dan mengorbankan nyawa kaum muda saat itu sekarang seolah menjadi basi dengan stigma ‘sama saja’ tersebut.

Maka jangan dipersalahkan kepada kaum muda ‘sadar diri-sadar lingkungan’ sekarang, yang melaksanakan sumpah serapah kepada pemilik modal dan oligarki dengan kembali berkumpul dijalan-jalan meluapkan amarah, ditambah bumbu teramat pedas anti kapitalisme dari gerakan Occupy Wall Street yang menjalar ke ibukota.

Kritis

Semangat sumpah pemuda 1928 telah lama berlalu. Dibutuhkan bukan hanya sekadar sumpah sloganistik semata tanpa melihat persoalan kesenjangan cara pandang pemuda kita masa kini. Disatu sisi sebarisan kaum muda yang menganggap persoalan kebangsaan dan pembinaan kaum muda cukup diutarakan di forum-forum resmi kabinet dan dewan legislatif serta forum-forum musyawarah ormas kepemudaan, sementara ada sebarisan besar kaum muda lain yang cukup kritis membuka mata hati anak bangsa akan persoalan sesungguhnya dari kebijakan pembinaan kepemudaan nasional. Membicarakan kaum muda tidak cukup hanya terbatas pada mereka yang telah menikmati kue pembangunan dan pemerataan KKN di semua lini pusat dan daerah, tetapi juga membedah persoalan kebangsaan yang menjadi tanggungjawab kaum muda, sebagai ‘pengejawantahan’ dari semangat Sumpah Pemuda 1928.

Kaum muda yang berada pada posisi tidak menguntungkan karena persoalan klasik tiadanya kesempatan kerja yang memadai, harus dijadikan batu pijakan dari kebijakan nasional kepemudaan, bukan hanya persoalan urusan seremonial upacara pembukaan seminar dan simposium kepemudaan yang penuh jargon kosong. Terlalu banyak potensi kaum muda yang tidak terekspos kepermukaan akibat strategi pembinaan yang kekurangan daya kritis.

Membicarakan semangat Sumpah Pemuda, adalah membicarakan persoalan kejujuran semua pihak dalam memperlakukan kaum muda. Apakah kaum muda masih dilihat sebagai generasi penerus negara-bangsa, ataukah hanya dijadikan potensi jangka pendek sebagai sumber daya tenaga buruh murah disemua sektor ketenagakerjaan pabrik dan perkantoran, sementara tenaga kerja asing dari pemilik modal terus dibiarkan memenuhi semua sektor industri, padahal dari segi kemampuan hanya berbanding tipis. Jika strategi  buruh murah yang dipakai, maka nasib kepemimpinan nasional akan tetap berada dilingkaran status quo, dengan mengajukan stigma ‘sama saja’ sebagai pelaku KKN dari generasi penerus.

Maka kalau sudah demikian halnya, biarlah sumpah serapah akan terus terjadi, sambil menunggu bara api berubah menjadi sesuatu yang menghanguskan akibat tiupan angin.

-Pril Huseno-

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...