Thursday, April 26, 2018

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / PPh Final untuk UKM) tentang pengenaan tarif bagi wajib pajak (WP) pelaku UMKM, akhir Maret ini pemerintah segera memberlakukan ketetapan pajak final bagi UMKM sebesar 0,5 persen. Turun dibanding sebelumnya sebesar 1 persen final. Objek penghasilan yang dipotong pajak UMKM adalah usaha dengan total peredaran bruto (omzet) maksimal Rp 4,8 miliar dalam setahun.

Bagi Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Akumindo), bukan perkara turun tarif pajaknya yang menjadikan pelaku UMKM gundah. Tetapi seharusnya pelaku UMKM mendapatkan tarif PPh Pasal 4 ayat 2 di angka 0 persen alias tidak dikenakan pajak, sebagaimana yang berlaku di negara-negara lain. Menurut Akumindo, di hampir semua negara--termasuk kawasan Asean--pelaku UMKM dibebaskan dari pajak. Akumindo berharap UMKM tidak dipukul rata dalam pengenaan pajak 0,5 persen final, sebab mayoritas pelaku UMKM adalah pelaku usaha mikro dan kecil yang berada di daerah dan berjuang meningkatkan penjualan produknya di tengah iklim usaha yang melemah.

Bisakah skema tarif 0 persen bagi UMKM (Mikro dan kecil) diterapkan seperti di negara lain? Apa saja kendalanya? Bisakah UMKM dibagi per kategori usaha misalnya bagi UMKM yang benar-benar telah maju dan besar yang dikenakan pajak final?

Ironisnya, awal Maret 2018 lalu Direktur BEI kembali mengusulkan agar pajak dividen investor saham dihapus. Padahal melalui UU Nomor 26 Tahun 1983 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pajak dividen sudah turun dari 20 persen ke 10 persen.

Usulan penghapusan pajak dividen bagi investor saham terasa kontradiktif dengan asas keadilan pajak bia dibandingkan dengan pelaku UMKM yang tetap dikenakan pajak final. Terlebih para investor saham tentulah mereka yang mempunyai harta berlebih dan dapat menyisihkan hartanya untuk diinvestasikan ke pasar saham. Apalagi, beberapa pengamat berpandangan, jika pajak dividen dikembalikan ke 20 persen, maka hal tersebut bisa meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
Permohonan penghapusan pajak UMKM dipandang tidak berlebihan. UMKM di samping telah berperan dalam menyerap 97 persen total tenaga kerja dalam negeri, juga berperan dalam menyumbang 68 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. UMKM juga terbukti kebal terhadap berbagai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak krisis moneter 1998. Ketika itu UMKM menjadi penyangga efektif dalam menyelamatkan kehidupan ekonomi banyak orang yang terkena pemutusan hubungan kerja akibat krisis ekonomi.

Penerapan pajak final bagi UMKM juga dipandang belum clear tentang definisi peredaran bruto yang dikenai pajak penghasilan. Apakah konsep pajak final UMKM telah memperhitungkan biaya yang dikeluarkan ataupun laba yang didapatkan oleh UMKM. Bisa jadi dalam setahun usaha UMKM justru merugi, sedang mereka akan tetap keluar uang untuk bayar pajak lantaran PPh yang dipatok final.

Jadi, daripada kembali mengejar pajak UMKM yang sebetulnya bisa diberikan penghapusan pajak, alangkah baiknya agar upaya optimalisasi penerimaan pajak negara difokuskan pada penarikan pajak bagi start up digital “Unicorn” yang mendapat gelontoran dana triliunan dari para taipan. Begitu pula terhadap pengenaan pajak dividen yang dikembalikan ke angka 20 persen, agar penerimaan pajak negara bisa “nendang”.

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca selengkapnya tanggapan pakar di Watyutink.com)

Sengkarut Kepemilikan Lahan

Polemik ihwal kepemilikan lahan dan program bagi-bagi sertifikat (BBS) agaknya harus melihat sisi lebih dalam dan luas lagi, ketimbang hanya meributkan program BBS yang belum lama bikin heboh.
Evaluasi selama 32 bulan (2015-Agustus 2017) memang mencatat sertifikasi tanah yang selesai baru 2.889.993 bidang atau rata-rata sekitar 90.300 bidang/bulan (Drajat Wibowo, 2018). Data Kementerian Agraria juga menyebutkan jumlah bidang yang selesai baru 4,23 juta, dan bukan 5 juta bidang atau meleset 15,4 persen.

Ditelisik lebih dalam, kontribusi redistribusi tanah ternyata masih minim. Selama  2015-Agustus 2017 terdapat 245.097 bidang tanah redistribusi yang tersertifikasi atau hanya 8,5 persen dari jumlah sertifikat.

Apa penyebab program sertifikasi tanah rakyat masih minim? Sekilas, reforma agraria terlihat belum serius dilaksanakan, sementara isu pemilikan 74 persen lahan oleh korporasi sudah menjadi bola liar. Apakah dari sekitar 2,8 juta yang sudah disertifikasi terdapat lahan milik korporasi besar?

Program reformasi agraria seharusnya bisa mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah, dan sekaligus ketimpangan aliran manfaat dari tanah. Persoalan pemilikan tanah sebagai alat produksi yang dapat meningkatkan daya produktivitas dan harkat ekonomi petani kecil/ buruh tani selayaknya menjadi agenda utama pemerintahan yang pro rakyat. Namun, data Rasio Gini Lahan (RGL) akhir 2017 oleh Megawati Institute menyebutkan RGL menunjukkan ketimpangan yang membesar. Pada 1973 RGL adalah 0,55; 1983 (0,5), 1993 (0,64), 2003 (0,72), dan 2013 sebesar 0,68.

Adakah angka di atas itu berhubungan dengan temuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2015 perihal konflik-konflik agraria yang terjadi di dunia ketiga, termasuk Indonesia, disebabkan oleh fenomena perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing) oleh multinational corporation pasca krisis ekonomi 2008? Laporan “The Economist” pada 2009 mencatat sekitar 37-49 juta hektare yang telah dirampok sejak 2006, dan jumlahnya diprediksi terus meningkat pasca krisis 2008.

Laporan dari Lund University, Swedia (2014), juga memberikan gambaran buruk tentang ekspansi perampasan tanah. Dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah. China bertransaksi dengan 33 negara, Inggris 30 negara, dan AS 28 negara. Negara-negara tersebut muncul sebagai pemain utama yang rajin membeli tanah negara-negara di Afrika dan Asia.

Mampukah negara berdaulat bisa melawan kedigdayaan multinational corporation yang ‘merampok tanah’ secara legal tersebut? Apakah karena hal di atas kemudian terdapat sekitar 100 ribu lahan pertanian menyusut tiap tahun di Indonesia, dan lebih dari 800.000 rumah tangga petani memutasi lahan pertaniannya karena alasan ekonomi? Walhasil, dari rangkaian permasalahan tanah tersebut prospek dunia pertanian Indonesia belakangan memang semakin terpuruk.

Apa yang harus dilakukan oleh para pengambil kebijakan nasional terhadap persoalan kepemilikan lahan ini? Adakah keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan korporasi besar dalam perkara sensitif seperti masalah tanah?

Atau agaknya perlu dilakukan rembug nasional tentang reformasi agraria, termasuk di dalamnya muncul kajian-kajian komprehensif tentang berbagai opsi reformasi agraria.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan  Pakar di Watyutink.com)

Parahnya Temuan BPK pada Pengelolaan Pangan

Hal menarik muncul dalam laporan hasil temuan BPK RI  terkait tata niaga pengelolaan impor pangan oleh Kementerian Perdagangan selasa (3/4/2018) lalu. Dari ikhtisar hasil pemeriksaan semester II/2017, terungkap sembilan temuan yang mengindikasikan adanya ketidakpatuhan terhadap sistem yang berlaku dan telah dipersyaratkan dalam tata niaga impor pangan. 

Ke-sembilan temuan itu antara lain pertama, izin impor beras 70.195 ton yang tidak memenuhi dokumen persyaratan, lewat waktu dan bernomor ganda. Kedua, impor 200 ton beras kukus tidak mempunya rekomendasi dari Kementan. Ketiga, pada 2016 impor sapi 9.370 ekor dan 86.567,01 ton daging sapi dan 3,35 juta ton garam tidak memenuhi dokumen persyaratan. Keempat, tidak adanya sistem pemantauan realisasi impor dan kepatuhan pelaporan oleh importir. Kelima, alokasi impor gula kristal putih, beras, sapi dan daging sapi tidak sesuai kebutuhan dan produksi dalam negeri.
Selain itu berturut-turut temuan ke-6 sampai ke-9 terkait tidak adanya dokumen Persetujuan Impor (PI) dan tanpa koordinasi untuk impor gula 1,69 juta ton, 108.000 ton gula kristal merah yang tidak disertai analisis kebutuhan, PI sapi 50.000 ekor pada 2015 yang tidak melalui rapat koordinasi dan impor 97.000 ton daging sapi dan realisasi 18.012,91 ton senilai Rp737,65 miliar, tanpa melalui rapat koordinasi dan rekomendasi kementan (detik.com, 03/04/2018).

Dari rentetan temuan BPK di atas, ada dua hal mendasar yang seolah dilupakan sama sekali, yakni ihwal koordinasi dan tidak adanya data analisis kebutuhan dan produksi dalam negeri. Bagaimana bisa impor dilaksanakan tanpa adanya koordinasi dan dokumen persetujuan impor? Bagaimana menjelaskan hal tersebut? Kasus tersebut tentunya tidak bisa disederhanakan hanya kasus “ketlingsut” atau terlupa dilakukan. 

BPK sendiri berdasarkan temuan hasil pemeriksaan merekomendasikan kepada Kemendag agar mengembangkan portal inatrade dan integrasi portal instansi/entitas lain terkait data dokumen hasil koordinasi dan data rekomendasi. Dengan demikian masalah miskoordinasi dan ketiadaan data memang menjadi masalah besar yang belum juga bisa diselesaikan, bahkan pada instansi setingkat kementerian negara.

(Lihat : Habis Dwelling Time, Terbitlah Logistik Mahal)

Jika demikian halnya, sesungguhnya birokrasi model bagaimana yang ada dalam sistem tata pemerintahan negara ini khususnya di Kemen Perdagangan? Bukankah birokrasi merupakan mesin penggerak pemerintahan yang semestinya bekerja dengan efisien dan saling terhubung dalam satu koordinasi yang efekfif? Apakah karena kondisi birokrasi seperti itu yang menyebabkan paket 16 deregulasi ekonomi tidak berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan? Terbukti dengan adanya kasus-kasus regulasi tambahan/lartas di internal kementerian tertentu yang menghambat ekspor dan investasi, yang dibuat tidak melalui koordinasi dengan tim satgas deregulasi ekonomi.

(Lihat: Jonan Rempong Dicecar Senayan, Paket Deregulasi Tersendat)

Masih bisakah birokrasi pemerintahan di Indonesia diperbaiki? Mampukah birokrasi ‘dididik’ kembali untuk menjadi mesin penggerak pemerintahan yang bekerja efektif, dan tidak menjadi duri dalam daging? Bisakah mengubah budaya birokrasi agar tidak selamanya menjadi “bad sector” dalam upaya besar modernisasi pemerintahan yang bersih dan berwibawa?

Apa pendapat Anda? Wayutink? 

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Kemana Arah Industri Nasional?

Di tengah kelesuan yang melanda industri manufaktur--dengan pertumbuhan hanya 4,27 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional 5,07 persen pada 2017--industri nasional kini dihadapkan pada situasi dilematis. Bediam diri dengan kondisi industri manufaktur yang apa adanya, berarti akan semakin jauh tertinggal dari laju industri di negara maju dan juga kemajuan ilmu pengetahuan/teknologi terkait revolusi industri 4.0 yang menjadi tren global. Melangkah merevitalisasi industri manufaktur, tantangan yang menghambat sungguh amat banyak.

Revolusi industri 4.0 yang melanda dunia ditandai dengan industri maju yang telah mengombinasikan teknologi robotik, otomatisasi, big data, artificial inteligent (AI), penggunaan internet dan lain-lain. Sementara industri nasional kebanyakan masih berada pada konsep industri 3.0 dengan penggunaan teknologi robotik dan otomatisasi. Sedangkan kondisi riil industri nasional terkendala untuk masuk ke tahap revolusi industri 4.0 dalam soal kesiapan SDM, modal untuk berinvestasi ke industri 4.0, mahalnya biaya bunga dan pengembalian investasi. Juga ihwal vendor/pemasok teknologi 4.0 dan kesiapan regulasi serta koordinasi pada stakeholder industri (Kompas, 6/04/2017).

Dengan banyaknya kendala bagi industri manufaktur di tanah air untuk masuk dalam tahapan revolusi industri 4.0, masih mampukah Indonesia mengejar ketertinggalan? Sementara industri dalam negeri masih terbelit oleh berbagai regulasi yang saling tidak sinkron, dan kalah daya saing akibat membanjirnya barang impor. Lagipula, dunia riset kita sebagai prasyarat bagi industrialisasi yang kuat, sejak lama tidak tumbuh dengan baik menjadi modal dasar bagi tumbuh kembangnya industrialisasi. Apa yang menyebabkan itu semua?

BACA JUGA : Benang Kusut Dunia Riset Kita

Menyadari ketertinggalan dunia industri nasional, pemerintah melalui Kementerian Keuangan pada (04/04) lalu mengumumkan mulai menggodok skema pengurangan pajak untuk perusahaan industri yang mengembangkan riset dan pengembangan/inovasi (R&D). Bentuknya adalah memberikan insentif fiskal (tax holiday) bagi industri yang mengembangkan kegiatan riset selama 25-30 tahun seperti yang dilakukan China dan sukses di sana. Kementerian Perindustrian juga mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk memberikan tax allowance 200 persen untuk industri yang melaksanakan kegiatan pendidikan vokasi dan 300 persen untuk yang mengembangkan inovasi dan riset seperti yangan dilakukan Singapura dan Thailand.

BACA JUGA : Bebaskan Pajak Investor Hingga 20 tahun, Adilkah Buat Rakyat?

Sekilas, usulan pemberian insentif fiskal kepada industri terlihat amat menarik. Tetapi, apakah semudah itu akan memberikan dampak nyata bagi peningkatan peran industri manufaktur dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Mampukah dunia industri menyahuti tantangan pemerintah untuk menjadi pusat riset dan inovasi unggul? Mampukah industri untuk melaksanakan pendidikan vokasional untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia yang sedang bersiap menghadapi era bonus demografi? Lalu bagaimana dengan peran perguruan tinggi? Mengingat, selama ini terdapat gap yang cukup lebar antara kebutuhan industri dengan hasil-hasil riset perguruan tinggi.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan di Watyutink.com)

Menyoal Strategi Pengentasan Kemiskinan Kita

Program pengentasan kemiskinan yang melulu dilihat dari cara pandang pilihan program, implementasi program dan tolok ukur nominal serapan bantuan atau angka naik turunnya kemiskinan, sepertinya akan gagal memahami bahwa kemiskinan sampai kapanpun akan kesulitan untuk diatasi.
Beberapa pihak sampai saat ini masih memaparkan peliknya problematika kemiskinan di Indonesia. Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan seperti bantuan pangan non tunai, dana desa, program keluarga harapan, dan lain-lain. Namun angka kemiskinan tidak turun secara signifikan, atau diukur dengan rasio ketergantungan penduduk yang selama beberapa puluh tahun tidak berjalan linear dengan turunnya tingkat kemiskinan. Padahal, alokasi anggaran untuk program pengentasan kemiskinan sudah dikucurkan sangat besar, Rp100 triliun pada 2010, dan meningkat jadi Rp292,8 triliun pada 2018. Angka kemiskinan pada 1993 tercatat 37,9 juta orang dan pada 2017 menjadi 27,7 juta orang. Memang menurun, tapi tidak berbanding lurus dengan kenaikan anggaran penanggulangan kemiskinan.

Laporan Human Development Report UNDP mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2016 sebesar 0,689 dan berada di peringkat 113 dari 118 negara di dunia, turun dari posisi 110 pada 2015 dan masih di bawah rata-rata dunia yang sebesar 0,711. Peringkat Indonesia masih berada di bawah empat negara ASEAN lainnya, yakni Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.

UNDP mencatat IPM ini meningkat sekitar 30,5 persen dalam 25 tahun terakhir. Namun, di saat yang bersamaan ada sejumlah indikator kesenjangan yang bertolak belakang dengan peningkatan IPM tersebut. Pertama, tingkat kemiskinan dan kelaparan. UNDP mencatat, ada sekitar 140 juta orang Indonesia yang hidup dengan biaya kurang dari Rp20 ribu per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi buruk. Kedua, tingkat kesehatan dan kematian. Tercatat dua juta anak di bawah usia satu tahun belum menerima imunisasi lengkap. Kemudian, angka kematian ibu sebanyak 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Ketiga, akses ke layanan dasar. UNDP melihat bahwa hampir lima juta anak tidak bersekolah dan anak-anak di Papua memiliki tingkat dikeluarkan dari sekolah yang tinggi.
Mengapa program pengentasan kemiskinan berjalan amat lambat, padahal anggaran yang besar dan berbagai macam program selama beberapa dekade telah dilaksanakan, dengan hasil tidak signifikan? Kesalahan cara pandang melihat kemiskinan atau ketidakmampuan menemukan solusi dari aneka ragam persoalan kemiskinan rakyat kita? Sementara Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal/Transmigrasi juga menunjukkan kinerja yang belum jelas. Lalu apa masalah sebenarnya atau, mampukah kita menemukan akar masalah kemiskinan sesungguhnya?

Akar kemiskinan di Indonesia bukanlah budaya malas bekerja keras. Kompleksitas masalah yang menyebabkan rakyat tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan, seperti faktor kebijakan yang menyebabkan rakyat tersingkirkan dari sumber daya alamnya. Sepertinya, penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil, apalagi jika sumber-sumber produktif rakyat tak lagi menjadi basis penanggulangan kemiskinan. Lalu, sampai kapan segala macam dana tunai itu dapat dijadikan andalan program penanggulangan kemiskinan jika akar masalah nya ternyata gagal kita pahami?

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Beranikah Perang Dagang dengan Uni Eropa?

Bukan hanya Amerika dan China yang bisa melakukan aksi “perang dagang”. Indonesia pun bisa bersikap galak terhadap negara lain, terutama Uni Eropa (UE). Gegara negara-negara UE yang akan menghentikan penggunaan CPO/minyak kelapa sawit pada 2021, Kementerian Perdagangan didukung pengusaha industri sawit dalam negeri meradang dan mengumumkan perang dagang dengan UE. Maklumlah, dengan tidak diperbolehkannya CPO/biofuel masuk ke pasaran UE, maka Indonesia berpotensi kehilangan pangsa ekspor sebesar 2,89 miliar dolar AS per tahun (BPS-2017).
Indonesia, selain menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia (produksi 33,4 juta ton pada 2016), industri sawit juga merupakan penghasil devisa terbesar yang pada 2016 mencapai 18,22 miliar dolar AS dan pada 2017 tembus di angka 22,97 miliar dolar AS atau naik sekitar 26 persen. Luas lahan kelapa sawit sendiri sampai 2016 sebesar 11,9 juta hektare (ha) di mana 53 persennya dikuasai oleh swasta (6,3 juta ha), 40 persen dikuasai rakyat (4,8 juta ha), dan 7 persen dikuasai oleh BUMN (755,8 ribu ha). Tenaga kerja yang terserap dari industri sawit hulu sampai hilir tercatat 21,2 juta orang.

Uni Eropa saat ini adalah pasar terbesar kedua bagi CPO Indonesia dengan volume penjualan 6,6 juta ton pada 2016. Urutan pertama adalah India dengan 10,3 juta ton dan pasar China di urutan ketiga dengan 5,2 juta ton.

Terkait perang dagang Indonesia - UE, seriuskah Indonesia akan melakukannya ke UE dan menyetop ekspor CPO ke UE? Juga menyetop impor pesawat airbus dan wine Perancis misalnya? Sudahkah dilakukan perhitungan secara detail ihwal untung-rugi perang dagang tersebut? Mengingat ekspor Indonesia ke UE saat ini bukan hanya minyak sawit saja, tapi juga banyak produk lain seperti alas kaki (9 persen), elektronik (8 persen), karet (7 persen), peralatan non-tekstil (5 persen), bahan kimia (4 persen) peralatan terkait tekstil (4 persen) serta produk kayu dan kerajinan (3 persen). Mengapa tidak ditingkatkan saja pendekatan intens dan efektif dengan mengirim utusan ke UE?

Pada Desember 2017 lalu saja, European Business Chamber (EuroCham) menawarkan  kerjasama lebih banyak impor barang modal untuk meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Studi Indef yang dikutip EuroCham menyebutkan, dengan meningkatnya impor produk penunjang industri, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik mengingat masih banyak ruang untuk memaksimalkan potensi perdagangan Indonesia - UE. Tambahan 1 persen ekspor ke Uni Eropa akan menghasilkan peningkatan PMA sebanyak 1,98 persen.

Melihat perkembangan industri dalam negeri dan perlunya Indonesia memperkuat iklim investasi asing, agaknya perlu untuk belajar sedikit berendah hati mengingat banyaknya kelemahan yang harus diperbaiki dan kebutuhan kerjasama dengan berbagai pihak dalam dan luar negeri untuk meningkatkan iklim investasi. Apalagi, pada November  2017 lalu Amerika juga telah menetapkan putusan final bea masuk imbalan (countervailing duty) antara 34,45 persen - 64,73 persen bagi produk biodiesel Indonesia, terkait bangkitnya proteksionisme Amerika Serikat.

Sepertinya masih banyak waktu bagi Indonesia untuk memperbaiki citra industri sawit dalam negeri sambil terus menjajagi perluasan pasar CPO ke Rusia, Timur Tengah, India, dan Afrika. Meski India sejak 2014 juga melakukan trade barriers berupa safeguard atau tarif impor khusus tambahan bagi produk yang dianggap membanjiri pasar India. terutama CPO RI berkenaan dengan lemak alkohol (fatty alcohol) yang dituduhkan kepada Indonesia.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Mengkritisi Putusan MA soal Pajak Air Freeport

Freeport menang lagi, dan Pemprov Papua terpaksa gigit jari. Gugatan Pemprov Papua kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) menyangkut tunggakan dan denda pajak air permukaan PT FI tahun 2011-2015 sebesar Rp2,6 triliun dikabulkan oleh Pengadilan Pajak pada 18 Januari 2017. Upaya banding PT FI pun ditolak. Tetapi di tingkat Peninjauan Kembali (PK), MA memenangkan PT FI.
Argumen MA memenangkan PT FI, Kontrak Karya (KK) PT FI dengan pemerintah Indonesia pada 1991 merupakan kategori “lex specialis” sehingga tidak bisa dijangkau yang berlaku umum (lex generalis). Selain itu, ada kebijakan fiskal di bawah otoritas Menkeu/pemerintah pusat, serta ada sifat khusus yang memiliki yurisdiksi dan kedudukan perlakuan hukum yang sama dalam pelayanan hukum.

PT FI berpedoman pada biaya penggunaan pajak air permukaan yang hanya Rp10 per meter kubik per detik. Sementara hitungan Pemprov Papua berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang pajak daerah sebesar Rp120 per meter kubik per detik untuk tiap pengambilan air dan tarif pajak 10 persen dari jumlah volume air bawah tanah/permukaan, serta sanksi kelalaian berupa bunga 25 persen dari pokok pajak plus sanksi administrasi 2 persen per bulan dari kekurangan bayar pajak. Tuntutan Pemprov Papua  juga mendapat rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Bejo” nian nasib PT FI. Putusan Pengadilan Pajak dan rekomendasi dari BPK, dua institusi yang amat paham aturan teknis perhitungan pajak, dimentahkan oleh para hakim MA dengan alasan lex spesialis dan otoritas pemerintah pusat. Apakah hal ini adalah buah dari berlarut-larutnya perundingan pemerintah dengan PT FI dalam kasus perpanjangan izin PT FI? termasuk pengenaan pajak progresif untuk PT FI tetapi PT FI keukeuh dengan KK yang memakai asumsi tarif pajak flat? Atau jangan-jangan, adakah yang ‘masuk angin’?

Padahal, pemerintah RI dan PT FI pada Desember 2017 lalu baru saja ‘agak sepaham’ ihwal syarat-syarat perpanjangan kontrak PT FI sampai 2041. Di antaranya, PT FI setuju harus membangun smelter dalam tempo lima tahun (selesai 2022 )serta progresnya diawasi pemerintah tiap 6 bulan. ihwal divestasi 51 persen saham yang diatur bertahap (masih terus dinegosiasi), PT FI diizinkan mengekspor konsentrat tapi dengan membayar bea keluar, dan landasan kerjasamanya adalah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan lagi Kontrak Karya.

Bagaimanapun, kepentingan nasional harus tetap menjadi yang utama. PT FI yang telah mengeksploitasi bumi Cenderawasih selama lebih dari 30 tahun dan memanen untung teramat besar tidak boleh terus dimanja. Termasuk dalam kasus tarif dan denda pajak penggunaan air permukaan yang semestinya dipatuhi oleh PT FI. Hanya karena dianggap kasus lex spesialis dan wewenang pusat, MA malah mengeluarkan putusan yang membuat potensi pendapatan rakyat Papua sebesar Rp2,6 triliun menjadi ‘amsyong’ begitu saja.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...