Thursday, April 26, 2018

Menyoal Strategi Pengentasan Kemiskinan Kita

Program pengentasan kemiskinan yang melulu dilihat dari cara pandang pilihan program, implementasi program dan tolok ukur nominal serapan bantuan atau angka naik turunnya kemiskinan, sepertinya akan gagal memahami bahwa kemiskinan sampai kapanpun akan kesulitan untuk diatasi.
Beberapa pihak sampai saat ini masih memaparkan peliknya problematika kemiskinan di Indonesia. Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan seperti bantuan pangan non tunai, dana desa, program keluarga harapan, dan lain-lain. Namun angka kemiskinan tidak turun secara signifikan, atau diukur dengan rasio ketergantungan penduduk yang selama beberapa puluh tahun tidak berjalan linear dengan turunnya tingkat kemiskinan. Padahal, alokasi anggaran untuk program pengentasan kemiskinan sudah dikucurkan sangat besar, Rp100 triliun pada 2010, dan meningkat jadi Rp292,8 triliun pada 2018. Angka kemiskinan pada 1993 tercatat 37,9 juta orang dan pada 2017 menjadi 27,7 juta orang. Memang menurun, tapi tidak berbanding lurus dengan kenaikan anggaran penanggulangan kemiskinan.

Laporan Human Development Report UNDP mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2016 sebesar 0,689 dan berada di peringkat 113 dari 118 negara di dunia, turun dari posisi 110 pada 2015 dan masih di bawah rata-rata dunia yang sebesar 0,711. Peringkat Indonesia masih berada di bawah empat negara ASEAN lainnya, yakni Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.

UNDP mencatat IPM ini meningkat sekitar 30,5 persen dalam 25 tahun terakhir. Namun, di saat yang bersamaan ada sejumlah indikator kesenjangan yang bertolak belakang dengan peningkatan IPM tersebut. Pertama, tingkat kemiskinan dan kelaparan. UNDP mencatat, ada sekitar 140 juta orang Indonesia yang hidup dengan biaya kurang dari Rp20 ribu per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi buruk. Kedua, tingkat kesehatan dan kematian. Tercatat dua juta anak di bawah usia satu tahun belum menerima imunisasi lengkap. Kemudian, angka kematian ibu sebanyak 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Ketiga, akses ke layanan dasar. UNDP melihat bahwa hampir lima juta anak tidak bersekolah dan anak-anak di Papua memiliki tingkat dikeluarkan dari sekolah yang tinggi.
Mengapa program pengentasan kemiskinan berjalan amat lambat, padahal anggaran yang besar dan berbagai macam program selama beberapa dekade telah dilaksanakan, dengan hasil tidak signifikan? Kesalahan cara pandang melihat kemiskinan atau ketidakmampuan menemukan solusi dari aneka ragam persoalan kemiskinan rakyat kita? Sementara Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal/Transmigrasi juga menunjukkan kinerja yang belum jelas. Lalu apa masalah sebenarnya atau, mampukah kita menemukan akar masalah kemiskinan sesungguhnya?

Akar kemiskinan di Indonesia bukanlah budaya malas bekerja keras. Kompleksitas masalah yang menyebabkan rakyat tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan, seperti faktor kebijakan yang menyebabkan rakyat tersingkirkan dari sumber daya alamnya. Sepertinya, penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil, apalagi jika sumber-sumber produktif rakyat tak lagi menjadi basis penanggulangan kemiskinan. Lalu, sampai kapan segala macam dana tunai itu dapat dijadikan andalan program penanggulangan kemiskinan jika akar masalah nya ternyata gagal kita pahami?

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...