Thursday, April 26, 2018

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / PPh Final untuk UKM) tentang pengenaan tarif bagi wajib pajak (WP) pelaku UMKM, akhir Maret ini pemerintah segera memberlakukan ketetapan pajak final bagi UMKM sebesar 0,5 persen. Turun dibanding sebelumnya sebesar 1 persen final. Objek penghasilan yang dipotong pajak UMKM adalah usaha dengan total peredaran bruto (omzet) maksimal Rp 4,8 miliar dalam setahun.

Bagi Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Akumindo), bukan perkara turun tarif pajaknya yang menjadikan pelaku UMKM gundah. Tetapi seharusnya pelaku UMKM mendapatkan tarif PPh Pasal 4 ayat 2 di angka 0 persen alias tidak dikenakan pajak, sebagaimana yang berlaku di negara-negara lain. Menurut Akumindo, di hampir semua negara--termasuk kawasan Asean--pelaku UMKM dibebaskan dari pajak. Akumindo berharap UMKM tidak dipukul rata dalam pengenaan pajak 0,5 persen final, sebab mayoritas pelaku UMKM adalah pelaku usaha mikro dan kecil yang berada di daerah dan berjuang meningkatkan penjualan produknya di tengah iklim usaha yang melemah.

Bisakah skema tarif 0 persen bagi UMKM (Mikro dan kecil) diterapkan seperti di negara lain? Apa saja kendalanya? Bisakah UMKM dibagi per kategori usaha misalnya bagi UMKM yang benar-benar telah maju dan besar yang dikenakan pajak final?

Ironisnya, awal Maret 2018 lalu Direktur BEI kembali mengusulkan agar pajak dividen investor saham dihapus. Padahal melalui UU Nomor 26 Tahun 1983 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pajak dividen sudah turun dari 20 persen ke 10 persen.

Usulan penghapusan pajak dividen bagi investor saham terasa kontradiktif dengan asas keadilan pajak bia dibandingkan dengan pelaku UMKM yang tetap dikenakan pajak final. Terlebih para investor saham tentulah mereka yang mempunyai harta berlebih dan dapat menyisihkan hartanya untuk diinvestasikan ke pasar saham. Apalagi, beberapa pengamat berpandangan, jika pajak dividen dikembalikan ke 20 persen, maka hal tersebut bisa meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
Permohonan penghapusan pajak UMKM dipandang tidak berlebihan. UMKM di samping telah berperan dalam menyerap 97 persen total tenaga kerja dalam negeri, juga berperan dalam menyumbang 68 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. UMKM juga terbukti kebal terhadap berbagai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak krisis moneter 1998. Ketika itu UMKM menjadi penyangga efektif dalam menyelamatkan kehidupan ekonomi banyak orang yang terkena pemutusan hubungan kerja akibat krisis ekonomi.

Penerapan pajak final bagi UMKM juga dipandang belum clear tentang definisi peredaran bruto yang dikenai pajak penghasilan. Apakah konsep pajak final UMKM telah memperhitungkan biaya yang dikeluarkan ataupun laba yang didapatkan oleh UMKM. Bisa jadi dalam setahun usaha UMKM justru merugi, sedang mereka akan tetap keluar uang untuk bayar pajak lantaran PPh yang dipatok final.

Jadi, daripada kembali mengejar pajak UMKM yang sebetulnya bisa diberikan penghapusan pajak, alangkah baiknya agar upaya optimalisasi penerimaan pajak negara difokuskan pada penarikan pajak bagi start up digital “Unicorn” yang mendapat gelontoran dana triliunan dari para taipan. Begitu pula terhadap pengenaan pajak dividen yang dikembalikan ke angka 20 persen, agar penerimaan pajak negara bisa “nendang”.

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca selengkapnya tanggapan pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...