Thursday, April 26, 2018

Sengkarut Kepemilikan Lahan

Polemik ihwal kepemilikan lahan dan program bagi-bagi sertifikat (BBS) agaknya harus melihat sisi lebih dalam dan luas lagi, ketimbang hanya meributkan program BBS yang belum lama bikin heboh.
Evaluasi selama 32 bulan (2015-Agustus 2017) memang mencatat sertifikasi tanah yang selesai baru 2.889.993 bidang atau rata-rata sekitar 90.300 bidang/bulan (Drajat Wibowo, 2018). Data Kementerian Agraria juga menyebutkan jumlah bidang yang selesai baru 4,23 juta, dan bukan 5 juta bidang atau meleset 15,4 persen.

Ditelisik lebih dalam, kontribusi redistribusi tanah ternyata masih minim. Selama  2015-Agustus 2017 terdapat 245.097 bidang tanah redistribusi yang tersertifikasi atau hanya 8,5 persen dari jumlah sertifikat.

Apa penyebab program sertifikasi tanah rakyat masih minim? Sekilas, reforma agraria terlihat belum serius dilaksanakan, sementara isu pemilikan 74 persen lahan oleh korporasi sudah menjadi bola liar. Apakah dari sekitar 2,8 juta yang sudah disertifikasi terdapat lahan milik korporasi besar?

Program reformasi agraria seharusnya bisa mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah, dan sekaligus ketimpangan aliran manfaat dari tanah. Persoalan pemilikan tanah sebagai alat produksi yang dapat meningkatkan daya produktivitas dan harkat ekonomi petani kecil/ buruh tani selayaknya menjadi agenda utama pemerintahan yang pro rakyat. Namun, data Rasio Gini Lahan (RGL) akhir 2017 oleh Megawati Institute menyebutkan RGL menunjukkan ketimpangan yang membesar. Pada 1973 RGL adalah 0,55; 1983 (0,5), 1993 (0,64), 2003 (0,72), dan 2013 sebesar 0,68.

Adakah angka di atas itu berhubungan dengan temuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2015 perihal konflik-konflik agraria yang terjadi di dunia ketiga, termasuk Indonesia, disebabkan oleh fenomena perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing) oleh multinational corporation pasca krisis ekonomi 2008? Laporan “The Economist” pada 2009 mencatat sekitar 37-49 juta hektare yang telah dirampok sejak 2006, dan jumlahnya diprediksi terus meningkat pasca krisis 2008.

Laporan dari Lund University, Swedia (2014), juga memberikan gambaran buruk tentang ekspansi perampasan tanah. Dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah. China bertransaksi dengan 33 negara, Inggris 30 negara, dan AS 28 negara. Negara-negara tersebut muncul sebagai pemain utama yang rajin membeli tanah negara-negara di Afrika dan Asia.

Mampukah negara berdaulat bisa melawan kedigdayaan multinational corporation yang ‘merampok tanah’ secara legal tersebut? Apakah karena hal di atas kemudian terdapat sekitar 100 ribu lahan pertanian menyusut tiap tahun di Indonesia, dan lebih dari 800.000 rumah tangga petani memutasi lahan pertaniannya karena alasan ekonomi? Walhasil, dari rangkaian permasalahan tanah tersebut prospek dunia pertanian Indonesia belakangan memang semakin terpuruk.

Apa yang harus dilakukan oleh para pengambil kebijakan nasional terhadap persoalan kepemilikan lahan ini? Adakah keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan korporasi besar dalam perkara sensitif seperti masalah tanah?

Atau agaknya perlu dilakukan rembug nasional tentang reformasi agraria, termasuk di dalamnya muncul kajian-kajian komprehensif tentang berbagai opsi reformasi agraria.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan  Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...