Thursday, April 26, 2018

Parahnya Temuan BPK pada Pengelolaan Pangan

Hal menarik muncul dalam laporan hasil temuan BPK RI  terkait tata niaga pengelolaan impor pangan oleh Kementerian Perdagangan selasa (3/4/2018) lalu. Dari ikhtisar hasil pemeriksaan semester II/2017, terungkap sembilan temuan yang mengindikasikan adanya ketidakpatuhan terhadap sistem yang berlaku dan telah dipersyaratkan dalam tata niaga impor pangan. 

Ke-sembilan temuan itu antara lain pertama, izin impor beras 70.195 ton yang tidak memenuhi dokumen persyaratan, lewat waktu dan bernomor ganda. Kedua, impor 200 ton beras kukus tidak mempunya rekomendasi dari Kementan. Ketiga, pada 2016 impor sapi 9.370 ekor dan 86.567,01 ton daging sapi dan 3,35 juta ton garam tidak memenuhi dokumen persyaratan. Keempat, tidak adanya sistem pemantauan realisasi impor dan kepatuhan pelaporan oleh importir. Kelima, alokasi impor gula kristal putih, beras, sapi dan daging sapi tidak sesuai kebutuhan dan produksi dalam negeri.
Selain itu berturut-turut temuan ke-6 sampai ke-9 terkait tidak adanya dokumen Persetujuan Impor (PI) dan tanpa koordinasi untuk impor gula 1,69 juta ton, 108.000 ton gula kristal merah yang tidak disertai analisis kebutuhan, PI sapi 50.000 ekor pada 2015 yang tidak melalui rapat koordinasi dan impor 97.000 ton daging sapi dan realisasi 18.012,91 ton senilai Rp737,65 miliar, tanpa melalui rapat koordinasi dan rekomendasi kementan (detik.com, 03/04/2018).

Dari rentetan temuan BPK di atas, ada dua hal mendasar yang seolah dilupakan sama sekali, yakni ihwal koordinasi dan tidak adanya data analisis kebutuhan dan produksi dalam negeri. Bagaimana bisa impor dilaksanakan tanpa adanya koordinasi dan dokumen persetujuan impor? Bagaimana menjelaskan hal tersebut? Kasus tersebut tentunya tidak bisa disederhanakan hanya kasus “ketlingsut” atau terlupa dilakukan. 

BPK sendiri berdasarkan temuan hasil pemeriksaan merekomendasikan kepada Kemendag agar mengembangkan portal inatrade dan integrasi portal instansi/entitas lain terkait data dokumen hasil koordinasi dan data rekomendasi. Dengan demikian masalah miskoordinasi dan ketiadaan data memang menjadi masalah besar yang belum juga bisa diselesaikan, bahkan pada instansi setingkat kementerian negara.

(Lihat : Habis Dwelling Time, Terbitlah Logistik Mahal)

Jika demikian halnya, sesungguhnya birokrasi model bagaimana yang ada dalam sistem tata pemerintahan negara ini khususnya di Kemen Perdagangan? Bukankah birokrasi merupakan mesin penggerak pemerintahan yang semestinya bekerja dengan efisien dan saling terhubung dalam satu koordinasi yang efekfif? Apakah karena kondisi birokrasi seperti itu yang menyebabkan paket 16 deregulasi ekonomi tidak berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan? Terbukti dengan adanya kasus-kasus regulasi tambahan/lartas di internal kementerian tertentu yang menghambat ekspor dan investasi, yang dibuat tidak melalui koordinasi dengan tim satgas deregulasi ekonomi.

(Lihat: Jonan Rempong Dicecar Senayan, Paket Deregulasi Tersendat)

Masih bisakah birokrasi pemerintahan di Indonesia diperbaiki? Mampukah birokrasi ‘dididik’ kembali untuk menjadi mesin penggerak pemerintahan yang bekerja efektif, dan tidak menjadi duri dalam daging? Bisakah mengubah budaya birokrasi agar tidak selamanya menjadi “bad sector” dalam upaya besar modernisasi pemerintahan yang bersih dan berwibawa?

Apa pendapat Anda? Wayutink? 

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...