Thursday, April 26, 2018

Kemana Arah Industri Nasional?

Di tengah kelesuan yang melanda industri manufaktur--dengan pertumbuhan hanya 4,27 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional 5,07 persen pada 2017--industri nasional kini dihadapkan pada situasi dilematis. Bediam diri dengan kondisi industri manufaktur yang apa adanya, berarti akan semakin jauh tertinggal dari laju industri di negara maju dan juga kemajuan ilmu pengetahuan/teknologi terkait revolusi industri 4.0 yang menjadi tren global. Melangkah merevitalisasi industri manufaktur, tantangan yang menghambat sungguh amat banyak.

Revolusi industri 4.0 yang melanda dunia ditandai dengan industri maju yang telah mengombinasikan teknologi robotik, otomatisasi, big data, artificial inteligent (AI), penggunaan internet dan lain-lain. Sementara industri nasional kebanyakan masih berada pada konsep industri 3.0 dengan penggunaan teknologi robotik dan otomatisasi. Sedangkan kondisi riil industri nasional terkendala untuk masuk ke tahap revolusi industri 4.0 dalam soal kesiapan SDM, modal untuk berinvestasi ke industri 4.0, mahalnya biaya bunga dan pengembalian investasi. Juga ihwal vendor/pemasok teknologi 4.0 dan kesiapan regulasi serta koordinasi pada stakeholder industri (Kompas, 6/04/2017).

Dengan banyaknya kendala bagi industri manufaktur di tanah air untuk masuk dalam tahapan revolusi industri 4.0, masih mampukah Indonesia mengejar ketertinggalan? Sementara industri dalam negeri masih terbelit oleh berbagai regulasi yang saling tidak sinkron, dan kalah daya saing akibat membanjirnya barang impor. Lagipula, dunia riset kita sebagai prasyarat bagi industrialisasi yang kuat, sejak lama tidak tumbuh dengan baik menjadi modal dasar bagi tumbuh kembangnya industrialisasi. Apa yang menyebabkan itu semua?

BACA JUGA : Benang Kusut Dunia Riset Kita

Menyadari ketertinggalan dunia industri nasional, pemerintah melalui Kementerian Keuangan pada (04/04) lalu mengumumkan mulai menggodok skema pengurangan pajak untuk perusahaan industri yang mengembangkan riset dan pengembangan/inovasi (R&D). Bentuknya adalah memberikan insentif fiskal (tax holiday) bagi industri yang mengembangkan kegiatan riset selama 25-30 tahun seperti yang dilakukan China dan sukses di sana. Kementerian Perindustrian juga mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk memberikan tax allowance 200 persen untuk industri yang melaksanakan kegiatan pendidikan vokasi dan 300 persen untuk yang mengembangkan inovasi dan riset seperti yangan dilakukan Singapura dan Thailand.

BACA JUGA : Bebaskan Pajak Investor Hingga 20 tahun, Adilkah Buat Rakyat?

Sekilas, usulan pemberian insentif fiskal kepada industri terlihat amat menarik. Tetapi, apakah semudah itu akan memberikan dampak nyata bagi peningkatan peran industri manufaktur dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Mampukah dunia industri menyahuti tantangan pemerintah untuk menjadi pusat riset dan inovasi unggul? Mampukah industri untuk melaksanakan pendidikan vokasional untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia yang sedang bersiap menghadapi era bonus demografi? Lalu bagaimana dengan peran perguruan tinggi? Mengingat, selama ini terdapat gap yang cukup lebar antara kebutuhan industri dengan hasil-hasil riset perguruan tinggi.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...