Thursday, April 26, 2018

Beranikah Perang Dagang dengan Uni Eropa?

Bukan hanya Amerika dan China yang bisa melakukan aksi “perang dagang”. Indonesia pun bisa bersikap galak terhadap negara lain, terutama Uni Eropa (UE). Gegara negara-negara UE yang akan menghentikan penggunaan CPO/minyak kelapa sawit pada 2021, Kementerian Perdagangan didukung pengusaha industri sawit dalam negeri meradang dan mengumumkan perang dagang dengan UE. Maklumlah, dengan tidak diperbolehkannya CPO/biofuel masuk ke pasaran UE, maka Indonesia berpotensi kehilangan pangsa ekspor sebesar 2,89 miliar dolar AS per tahun (BPS-2017).
Indonesia, selain menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia (produksi 33,4 juta ton pada 2016), industri sawit juga merupakan penghasil devisa terbesar yang pada 2016 mencapai 18,22 miliar dolar AS dan pada 2017 tembus di angka 22,97 miliar dolar AS atau naik sekitar 26 persen. Luas lahan kelapa sawit sendiri sampai 2016 sebesar 11,9 juta hektare (ha) di mana 53 persennya dikuasai oleh swasta (6,3 juta ha), 40 persen dikuasai rakyat (4,8 juta ha), dan 7 persen dikuasai oleh BUMN (755,8 ribu ha). Tenaga kerja yang terserap dari industri sawit hulu sampai hilir tercatat 21,2 juta orang.

Uni Eropa saat ini adalah pasar terbesar kedua bagi CPO Indonesia dengan volume penjualan 6,6 juta ton pada 2016. Urutan pertama adalah India dengan 10,3 juta ton dan pasar China di urutan ketiga dengan 5,2 juta ton.

Terkait perang dagang Indonesia - UE, seriuskah Indonesia akan melakukannya ke UE dan menyetop ekspor CPO ke UE? Juga menyetop impor pesawat airbus dan wine Perancis misalnya? Sudahkah dilakukan perhitungan secara detail ihwal untung-rugi perang dagang tersebut? Mengingat ekspor Indonesia ke UE saat ini bukan hanya minyak sawit saja, tapi juga banyak produk lain seperti alas kaki (9 persen), elektronik (8 persen), karet (7 persen), peralatan non-tekstil (5 persen), bahan kimia (4 persen) peralatan terkait tekstil (4 persen) serta produk kayu dan kerajinan (3 persen). Mengapa tidak ditingkatkan saja pendekatan intens dan efektif dengan mengirim utusan ke UE?

Pada Desember 2017 lalu saja, European Business Chamber (EuroCham) menawarkan  kerjasama lebih banyak impor barang modal untuk meningkatkan produksi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Studi Indef yang dikutip EuroCham menyebutkan, dengan meningkatnya impor produk penunjang industri, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik mengingat masih banyak ruang untuk memaksimalkan potensi perdagangan Indonesia - UE. Tambahan 1 persen ekspor ke Uni Eropa akan menghasilkan peningkatan PMA sebanyak 1,98 persen.

Melihat perkembangan industri dalam negeri dan perlunya Indonesia memperkuat iklim investasi asing, agaknya perlu untuk belajar sedikit berendah hati mengingat banyaknya kelemahan yang harus diperbaiki dan kebutuhan kerjasama dengan berbagai pihak dalam dan luar negeri untuk meningkatkan iklim investasi. Apalagi, pada November  2017 lalu Amerika juga telah menetapkan putusan final bea masuk imbalan (countervailing duty) antara 34,45 persen - 64,73 persen bagi produk biodiesel Indonesia, terkait bangkitnya proteksionisme Amerika Serikat.

Sepertinya masih banyak waktu bagi Indonesia untuk memperbaiki citra industri sawit dalam negeri sambil terus menjajagi perluasan pasar CPO ke Rusia, Timur Tengah, India, dan Afrika. Meski India sejak 2014 juga melakukan trade barriers berupa safeguard atau tarif impor khusus tambahan bagi produk yang dianggap membanjiri pasar India. terutama CPO RI berkenaan dengan lemak alkohol (fatty alcohol) yang dituduhkan kepada Indonesia.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...