Thursday, April 26, 2018

Mengkritisi Putusan MA soal Pajak Air Freeport

Freeport menang lagi, dan Pemprov Papua terpaksa gigit jari. Gugatan Pemprov Papua kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) menyangkut tunggakan dan denda pajak air permukaan PT FI tahun 2011-2015 sebesar Rp2,6 triliun dikabulkan oleh Pengadilan Pajak pada 18 Januari 2017. Upaya banding PT FI pun ditolak. Tetapi di tingkat Peninjauan Kembali (PK), MA memenangkan PT FI.
Argumen MA memenangkan PT FI, Kontrak Karya (KK) PT FI dengan pemerintah Indonesia pada 1991 merupakan kategori “lex specialis” sehingga tidak bisa dijangkau yang berlaku umum (lex generalis). Selain itu, ada kebijakan fiskal di bawah otoritas Menkeu/pemerintah pusat, serta ada sifat khusus yang memiliki yurisdiksi dan kedudukan perlakuan hukum yang sama dalam pelayanan hukum.

PT FI berpedoman pada biaya penggunaan pajak air permukaan yang hanya Rp10 per meter kubik per detik. Sementara hitungan Pemprov Papua berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang pajak daerah sebesar Rp120 per meter kubik per detik untuk tiap pengambilan air dan tarif pajak 10 persen dari jumlah volume air bawah tanah/permukaan, serta sanksi kelalaian berupa bunga 25 persen dari pokok pajak plus sanksi administrasi 2 persen per bulan dari kekurangan bayar pajak. Tuntutan Pemprov Papua  juga mendapat rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Bejo” nian nasib PT FI. Putusan Pengadilan Pajak dan rekomendasi dari BPK, dua institusi yang amat paham aturan teknis perhitungan pajak, dimentahkan oleh para hakim MA dengan alasan lex spesialis dan otoritas pemerintah pusat. Apakah hal ini adalah buah dari berlarut-larutnya perundingan pemerintah dengan PT FI dalam kasus perpanjangan izin PT FI? termasuk pengenaan pajak progresif untuk PT FI tetapi PT FI keukeuh dengan KK yang memakai asumsi tarif pajak flat? Atau jangan-jangan, adakah yang ‘masuk angin’?

Padahal, pemerintah RI dan PT FI pada Desember 2017 lalu baru saja ‘agak sepaham’ ihwal syarat-syarat perpanjangan kontrak PT FI sampai 2041. Di antaranya, PT FI setuju harus membangun smelter dalam tempo lima tahun (selesai 2022 )serta progresnya diawasi pemerintah tiap 6 bulan. ihwal divestasi 51 persen saham yang diatur bertahap (masih terus dinegosiasi), PT FI diizinkan mengekspor konsentrat tapi dengan membayar bea keluar, dan landasan kerjasamanya adalah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan lagi Kontrak Karya.

Bagaimanapun, kepentingan nasional harus tetap menjadi yang utama. PT FI yang telah mengeksploitasi bumi Cenderawasih selama lebih dari 30 tahun dan memanen untung teramat besar tidak boleh terus dimanja. Termasuk dalam kasus tarif dan denda pajak penggunaan air permukaan yang semestinya dipatuhi oleh PT FI. Hanya karena dianggap kasus lex spesialis dan wewenang pusat, MA malah mengeluarkan putusan yang membuat potensi pendapatan rakyat Papua sebesar Rp2,6 triliun menjadi ‘amsyong’ begitu saja.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...