Thursday, April 26, 2018

Teknologi Digital Untuk Pertanian Kita

Arus kemajuan teknologi digital yang kian tak tertahankan telah mendisrupsi segala kegiatan. Teknologi, yang diciptakan untuk mempermudah pekerjaan dan mobilitas manusia sejak revolusi industri 1.0 sampai era revolusi industri 4.0, telah mempengaruhi pola kegiatan dan pola pengambilan keputusan. Penggunaan tenaga manusia pun ikut tergerus dibanding era mekanisasi robotik dan otomatik (revolusi industri 3.0), menjadi era teknologi otomatisasi robotik, big data, artificial inteligent (AI), dan penggunaan internet.

Kegiatan dan transaksi ekonomi di bidang perbankan adalah yang paling banyak terdisrupsi akibat kemajuan teknologi digital/teknologi informasi. Namun, adakah kemajuan luar biasa era digital juga memasuki wilayah pertanian? Sebab, sektor ini yang paling banyak menyerap tenaga kerja (39,68 juta atau 31,86 persen dari 124,54 juta penduduk bekerja di Indonesia).

Sebagai catatan, persentuhan dunia pertanian Indonesia dengan teknologi budidaya pertanian dimulai sejak revolusi hijau di masa Orde Baru. Kala itu, revolusi hijau menghasilkan swasembada pangan selama 5 tahun pada 1984-1989. Tetapi revolusi hijau pada saat itu juga menimbulkan dampak kesenjangan ekonomi dan sosial di pedesaan, karena yang diuntungkan hanya petani kaya yang memiliki tanah lebih dari setengah hektare, juga pihak penyelenggara negara tingkat pedesaan.
Semestinya, di tengah laju pembangunan yang berimplikasi pada berkurangnya lahan pertanian, penggunaan teknologi pertanian mutakhir seiring kemajuan teknologi digital/informatika dapat memaksimalkan hasil pertanian, seperti yang terjadi di Thailand dan Jepang misalnya. Beberapa inovasi teknologi masyarakat memang telah muncul di bidang pertanian. Sebutlah beberapa startup pertanian seperti aplikasi “Agtech” (Agricultural Technology). “Agtech” adalah aplikasi yang fokus pada pengembangan bisnis di bidang pertanian. Tak hanya ihwal informasi produk berkualitas, tapi teknologi ini menjadi sumber informasi bagi petani tentang cara bercocok tanam secara modern dan cepat, serta solusi mengatasi masalah pertanian dan sebagainya.

Begitu pula dengan inovasi teknologi agrikultur yang tengah digandrungi seperti “RITX” yang menawarkan fitur marketplace untuk memasarkan produksi pertanian, konsultasi pertanian, informasi harga komoditas, prakiraan cuaca, dan lainnya, fitur crowdfunding untuk pendanaan/investor kegiatan setiap musim tanam, dan fitur “IOT” (Internet of Things) yang digunakan investor dalam memonitor perkembangan proyek pertanian yang didanai, serta fitur Artificial Inteligence (AI) yang dapat membantu petani mengidentifikasi setiap permasalahan pertanian dengan solusi tepat guna.
Bisakah kemajuan itu juga diterapkan dan menjadi solusi sektor pertanian di tanah air? Lalu jika teknologi digital/informasi diaplikasikan di negeri ini, apakah otomatis mempu meningkatkan hasil produk pertanian dan tingkat kesejahteraan petani? Sebab tingkat pendidikan petani Indonesia sebagian besar rendah dan mereka tidak melek teknologi. Bagaimana mengatasinya? Sebab jika aplikasi teknologi digital pertanian ini diterapkan tanpa diimbangi dengan memperbaiki kognisi petani, lagi-lagi hasil produksi petani yang melimpah hanya akan menjadi bancakan para kapitalis yang berwujud "monster" digital.

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...