Thursday, April 26, 2018

Revitalisasi Industri di tengah Pelemahan Rupiah

Ekonomi Indonesia di triwulan pertama 2018 menyiratkan harapan sekaligus sedikit kekhawatiran. Petumbuhan ekonomi diharapkan tembus pada 5,4 persen seperti yang diharapkan pemerintah (APBN), dan 5,3 persen seperti diramal oleh Bank Dunia dan ADB. Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama 2018 diperkirakan mencapai 5,1 persen yang ditopang oleh membaiknya permintaan domestik, khususnya investasi. Terutama sektor properti dan non properti terkait laju pembangunan infrastruktur di tanah air.

Tantangannya, harga minyak dunia yang tembus di atas 62 dolar AS per barel dan perekonomian Amerika Serikat (AS) yang terus menguat akibat meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS, serta ekspektasi terhadap rencana kenaikan suku bunga ‘The Fed’ 3-4 kali pada tahun ini. Menguatnya ekonomi AS diperkirakan menjadi penyebab merosotnya rupiah sejak Jumat (20/04/2018) pekan lalu hingga Selasa (24/04/2018) bertengger di angka Rp14.000 per dolar AS, atau menjadi mata uang yang paling lemah di Asia.

Imbas penguatan dolar AS juga melemahkan 9 mata uang negara Asia lainnya, namun rupiah terdampak paling parah. Pelemahan rupiah 0,78 persen, lebih tinggi dibanding Won Korea (0,53 persen) dan Rupee India (0,47 persen). Hingga Maret 2018 lalu, rupiah sudah terdepresiasi 1,13 persen akibat perang dagang AS–China. Padahal Bank Indonesia telah melakukan intervensi di pasar valas maupun SBN dalam jumlah yang cukup besar untuk menjaga stabilitas rupiah.

Seberapa jauh pengaruh depresiasi rupiah terhadap dolar AS ini dapat mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia, khususnya terhadap target-target pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak? Padahal, ekonomi dunia disebut sedang kembali tumbuh ke angka 3,9 persen (2018) meski diperkirakan turun 3,7 persen pada 2019. Moody’s rating saja baru memberikan peringkat sovereign credit rating Indonesia dari Baa3 pada 8 Februari 2018 (positive outlook) menjadi Baa2 pada 13 April 2018 (stable outlook). 

Bagaimana jika pelemahan rupiah dan aksi capital outflow terus terjadi? Kebutuhan dolar AS dalam negeri terhitung tinggi, apalagi kebutuhan impor BBM RI yang 60 persen harus diimpor, juga impor barang modal dan bahan baku yang belakangan disebut meningkat signifikan. Terlebih bagi korporasi yang punya kewajiban dalam mata uang asing, jelas akan memberi dampak pada dunia usaha.
Namun, otoritas fiskal dan moneter RI masih optimistis. Beberapa indikator disebut masih baik, misalnya sektor makro dan domestik, di samping inflasi yang rendah. Keseimbangan neraca ekspor juga disebutkan berpotensi membaik, sementara defisit transaksi berjalan lebih didorong oleh meningkatnya impor barang modal dan bahan baku.

Tetapi dari gambaran ekonomi yang disebutkan masih bisa diandalkan itu, lagi-lagi kita harus bertanya mengapa sektor industri manufaktur seolah tidak tersentuh? Pertumbuhan industri manufaktur hanya 4,25 persen di bawah PDB. Padahal, sektor manufaktur amat butuh revitalisasi karena dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja paling besar, potensial menaikkan penerimaan pajak dan menjadi basic yang kuat bagi fundamental ekonomi.
Kondisi gonjang ganjing perekonomian dunia lumayan bisa diredam jika sektor manufaktur tumbuh kuat. Apalagi jika kemudian ekspor yang ada tidak hanya melulu dari ekspor komoditas primer. Sampai kapan gejala deindustrialisasi ini seolah dibiarkan?

Apa pendapat Anda? Watyutink?

(Baca selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...