Thursday, April 26, 2018

Mengkritisi Paket Deregulasi Ekonomi

Menteri Energi dan Sumber Saya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan, Rabu (6/9), dikritisi habis DPR atas delapan regulasi yang masih berlaku di sektor ESDM. Regulasi itu dinilai menghambat investasi, sehingga dikeluhkan dunia usaha. Suara  wakil rakyat yang juga mewakili suara dunia usaha ini tentu menarik.

Kedelapan regulasi itu, mulai dari persyaratan izin ekspor mineral, pokok-pokok perjanjian jual-beli listrik, hingga soal pengawasan kegiatan usaha di sektor migas. Jonan berjanji akan mengevaluasi kasus per kasus dan menindaklanjuti regulasi bermasalah itu. Kementerian ESDM sendiri, telah berusaha memperlancar iklim usaha dengan menyederhanakan proses perizinan sektor migas, dari 42 menjadi 6 izin.

Protes atas regulasi internal kementerian bukan hanya kali ini saja. Akhir Mei 2017, dunia usaha memprotes Menko Perekonomian Darmin Nasution. Yaitu, akibat 12 larangan terbatas (lartas) baru. Padahal 9 di antaranya tak sesuai dengan paket deregulasi ekonomi. Kok bisa ya lahir aturan kementerian yang bertentangan dengan semangat 13 paket deregulasi ekonomi?

Padahal deregulasi lima bidang usaha yang diumumkan MenKo Perekonomian, Darmin Nasution, Rabu 27/1/2017, bertujuan menindaklanjuti 13 paket kebijakan ekonomi jilid IX yang diberlakukan sejak September 2015. Yaitu untuk mempersingkat perizinan ekspor, membenahi sistem logistik, dan membuat road map industri logistik modern. Diharapkan deregulasi tersebut bisa meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Masalahnya, pada level mana terjadi ketidaksinkronan paket deregulasi ekonomi dengan praktek di lapangan? Padahal, para pengambil kebijakan di Kementerian semua berdalih telah berkoordinasi dengan segenap aparatur di bawah?

Indonesia sejak dulu dikenal sebagai negara “Die Hard” bagi investor dalam negeri maupun asing. Dari soal pajak, birokrasi yang mata duitan dan bertele-tele, biaya siluman, hingga Dwelling Time  yang mencapai 4,7 hari. Belum lagi posisi larangan terbatas (Lartas) Indonesia saat ini masih 51 persen lebih dari 10.826 pos Tariff Harmonized System (HS) Buku Kepabeanan RI. Padahal rata-rata ASEAN hanya 17 persen, lho?

Masalah ketidaksinkronan sebenarnya bisa diselesaikan jika koordinasi antar lini kementerian  berjalan baik.  Tapi adakah political will semua pihak?

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(Pso)

(Baca selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...