Thursday, November 03, 2011

MENSYUKURI MAKNA HAKIKI DARI HARI RAYA KURBAN


Dua hari lagi Hari Raya Idul Adha. Hari raya yang bagi kaum muslimin mempunyai posisi istimewa sebagai hari raya kurban. Orang Betawi menyebutnya dengan ‘Lebaran Haji’, karena hari itu bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah 1432 H,  ketika jutaan kaum muslimin melaksanakan ritual wuquf di Arafah. Sebuah ritual yang diartikan sebagai perenungan atas perjalanan hidup manusia, khusyuk beribadah disebuah padang luas terbentang. Disebuah lokasi dimana Adam dan Hawa dipertemukan di bumi setelah tercampak dari surga.
Idul Adha juga ditandai dengan ritual penyembelihan hewan kurban bagi mereka yang mampu. Penyembelihan hewan ternak peliharaan seperti kerbau, sapi, kambing atau domba, dan juga unta, disebutkan sebagai bukti ketundukan manusia terhadap perintah Tuhan penguasa alam semesta. Nabi Ibrahim, manusia pertama yang diperintahkan oleh Allah swt untuk menunjukkan ketundukan terhadap perintah Tuhannya, pada mulanya amat berat melaksanakan perintah ini karena yang diperintahkan adalah mengurbankan anak kandungnya sendiri Ismail, anak satu-satunya yang begitu disayangi karena merupakan anak yang telah lama dinantikan kelahirannya. Namun karena kepatuhannya atas perintah Sang Khaik, apalagi Ismail secara mengejutkan menyuruh lakukan saja penyembelihan dirinya kepada sang ayah, maka Ibrahim dengan tanpa ragu-ragu melaksanakan perintah penyembelihan itu sambil menutup rapat kedua matanya.
Tetapi kemudian Allah swt menunjukkan kebesaran makna dibalik perintah penyembelihan itu. Posisi Ismail dengan seketika ditukar oleh seekor domba, sehingga ketika Ibrahim mengayunkan pedang untuk menyembelih leher anaknya Ismail, yang disembelih ternyata leher seekor domba. Sedang Ismail sendiri telah berpindah posisi sambil duduk termangu. Maka menangislah nabi Ibrahim sambil memeluk buah hati kesayangannya. 
Allah swt telah menunjukkan bahwa ajaran mengorbankan sosok manusia seperti yang dilakukan kaum penyembah berhala bukanlah amanah Tuhan Sang Pencipta. Tetapi lebih pada perilaku menyerah diri kepada alam pikiran sesat yang sama sekali bukan ajaran ketuhanan. Peristiwa mengganti posisi Ismail dengan seekor domba adalah lambang ajaran yang menegaskan adanya kekeliruan  konsepsi  ritus pengorbanan manusia.
Pelaksanaan ritual kurban dengan membagi-bagikan daging hewan sembelihan kepada kaum tak berpunya juga mempunyai arti bahwa Islam adalah agama yang kental dengan semangat solidaritas sosial. Statemen sinis terhadap acara pembagian daging hewan kurban yang hanya satu kali dalam setahun  sebagai  tidak menyelesaikan masalah kemiskinan,  adalah pernyataan tergesa-gesa dan tidak melihat konteks manfaat psiko-sosial yang muncul dari pembagian daging hewan kurban. Sampai dengan saat ini, belum ada satupun ideologi ciptaan manusia yang benar-benar mampu menyelesaikan masalah kemiskinan yang dialami umat manusia.
Disamping semua makna itu, peristiwa haji adalah momen paling bersejarah dalam perjalanan kerasulan Muhammad SAW. Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari ketika penghuni kota Mekkah bergetar ketakutan dengan kedatangan kembali Nabiyullah Muhammad SAW bersama dengan sepuluh ribu orang pasukan dan pengikutnya untuk melaksanakan ibadah haji. Pintu-pintu rumah tokoh kaum kafir Quraisy ditutup dengan tergesa. Ketakutan melihat betapa besar semangat dan keyakinan yang datang setelah belasan tahun mendirikan ‘masyarakat madani’  di kota Madinah. Inilah peristiwa besar yang sebenarnya patut diingat dan dirayakan oleh ummat Islam pada hari raya Idul Adha, ketimbang sibuk merasakan lezatnya sate kambing sisa hasil pembagian jatah kaum dhuafa. Kembalinya Muhammad SAW ke kota Mekkah adalah tonggak dakwah berlipat kali lompatan kedepan yang akan menentukan arah dari perkembangan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Peristiwa ‘penaklukan’ kota Mekkah inilah semestinya yang harus dirayakan dengan gegap gempita. Takbir yang dikumandangkan pada shalat Iedul Adha juga adalah kepada rasa syukur atas kemenangan strategi dakwah Muhammad SAW yang memilih untuk membangun basis pendukung diluar kota Mekkah.  Madinah Al Munawwarah merupakan titik tolak kemenangan peradaban yang dibangun Muhammad SAW dengan membangun masyarakat Islam yang mematuhi hukum-hukum kemasyarakatan sesuai digariskan Al Qur’an. Juga masyarakat yang begitu toleran tetapi tegas terhadap kaum non muslim, seperti yang dialami warga yahudi. Madinah juga kota yang egaliter sebagaimana sosok Muhammad SAW, sambil terus berdakwah mengikuti garis Qur’ani yang tiap kali diturunkan wahyu langit menjadi ayat-ayat Madaniyah yang dihormati. Dari Madinahlah berkilau konsep ‘Deklarasi Madinah’. Sebuah deklarasi yang merupakan butir-butir kesepakatan seluruh warga kota Madinah, lintas etnis dan keyakinan, agar saling menghormati, melindungi dan berko-eksistensi sebagai warga kota, asalkan tidak saling melukai dan berkhianat kepada musuh dari luar kota Madinah.
Keberhasilan peradaban yang dibangun Muhammad SAW itulah yang kemudian terdengar oleh kaum kafir quraisy di kota Mekkah, sehingga beberapa kali terjadi upaya penaklukan Madinah lewat beberapa perang bersejarah. Badr, Uhud, Khandaq, dan beberapa bentrok kecil antara dua kota terjadi. Namun semua upaya aneksasi kota dan ajaran yang dibangun Muhammad SAW gagal total. Malah berbalik menjadi sesuatu yang mengerikan dan menggetarkan, setelah sang nabi memutuskan akan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Bekal sebagai sebuah kota yang membangun peradaban agung dan secara revolusioner merubah cara pandang dan jati diri ummat manusia itulah yang tidak dapat dilawan oleh jiwa-jiwa yang tidak mempunyai ruh Ilahiah dikota Mekkah.
Itulah hal sebenar-benarnya yang patut dirayakan oleh semua ummat muslim ketika bergembira ria merayakan Hari Raya Idul Adha.
Dengan tidak menafikan ritual simbolik kurban sebagai sebuah ajaran suci yang diwariskan Nabi Ibrahim, kita tidak akan kehilangan makna hari raya kurban ketika mensyukuri peristiwa kemenangan peradaban yang dibangun Muhammad SAW, saat berhasil memasuki kota Makkatul Mukarramah. Ibadah haji, berkurban dan peristiwa kembalinya Muhammad SAW dan pengikutnya ke kota Mekkah adalah satu kesatuan yang meyakinkan kita semua bahwa kemenangan itu sesungguhnya adalah kemenangan dari jiwa-jiwa yang tenang dan khusyuk dalam beribadah, yang pada gilirannya akan menjadikan pencerahan bagi peradaban selanjutnya.

-Pril Huseno-
  

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...