Saturday, May 23, 2015

SEKALI LAGI TENTANG KRISIS ENERGI NASIONAL (III)

Kebutuhan energi nasional yang setiap saat bertambah tanpa dibarengi dengan strategi pengembangan energi alternatif sama saja dengan membiarkan negara menuju keadaan darurat energi. Harap disadari, cadangan energi bahan bakar minyak (BBM) kita secara nasional hanya efektif untuk maksimal 22 hari impor.


Seorang pengamat ketahanan nasional menggambarkan bahwa jika saja ada sabotase musuh dari luar terhadap  pangkalan BBM di Balikpapan, maka pasokan BBM untuk Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sebagian besar wilayah Papua akan terhenti. Musuh akan dengan mudah menduduki dan menguasai wilayah kedaulatan nasional karena mobilisasi militer akan terganggu akibat kekurangan pasokan bahan bakar. Kapasitas cadangan yang 14 hari impor harus segera ditingkatkan menjadi sekitar 30 hari. Digambarkan kemudian, jika saja jalur pipa Cirebon -Jakarta putus, maka dalam waktu seminggu Jakarta akan lumpuh. 

Negara lain seperti Vietnam saat ini sedang berupaya meningkatan cadangan energinya sampai 90 hari impor dari kapasitas cadangan saat ini yang 47 hari impor. China punya cadangan 77 hari impor, Amerika Serikat, yang belajar dari perang Yom Kippur dan embargo minyak oleh negara-negara Arab tahun 1973 telah meningkatkan cadangan sampai 204 hari impor, Korea Selatan 96 hari impor dan Jepang 148 hari impor. Thailand sendiri punya cadangan penyangga energi untuk 81 hari impor. International Energy Agency (IEA) mensyaratkan negara anggotanya untuk mempunyai cadangan penyangga energi nasional selama minimal 90 hari. Artinya saat kondisi darurat bencana alam atau perang, kebutuhan energi nasional bisa dipenuhi selama 90 hari.

Indonesia sendiri saat ini praktis bisa disebut tidak punya cadangan penyangga energi nasional, karena syarat untuk mempunyai cadangan energi yang memadai adalah ketersediaan kilang-kilang yang mampu menampung banyak cadangan BBM. Kilang terakhir yang dibangun Indonesia adalah Kilang Balongan pada 1995 yang berkapasitas 125,000 bph (barel per hari). Itu disebabkan karena sebagai negara berkembang Indonesia dianggap belum terbiasa berpikir jangka panjang, karena perspektif perencanaan masih terlalu pendek. Bisa jadi ketika membuat perencanaan infrastruktur migas dulu tidak membayangkan demand yang begitu besar seperti sekarang. Langkah yang harus dilakukan pemerintah sekarang adalah segera menyediakan kewajiban membangun cadangan minyak yang harus dikeluarkan apabila keadaan krisis.

Beberapa kebijakan kearah perencanaan pembangunan cadangan energi penyangga nampaknya sudah dilakukan, antara lain membuat road map cadangan atas bantuan pemerintah Inggris, dan diharapkan pada 2017 nanti sudah ada cadangan energi. Juga akan dibangun dua kilang dengan kapasitas masing-masing 300,000 bph yang diharapkan dapat menggenjot lifting hingga satu juta barel.  

Karena biaya membangun kilang minyak cukup besar, maka amat diperlukan kerjasama investasi dengan pihak swasta yang harus diberi insentif fiskal, hal tersebut mutlak harus diberikan kepada pihak swasta sebagai dukungan karena margin keuntungan dari kilang minyak tipis. inisiatif Public Private Partnership (PPP) lewat Perpress No 56 tahun 2011 sudah memungkinkan hal tersebut. Hanya saja pada 2013 lalu pemerintah telah membatalkan rencana kerjasama pembangunan kilang dengan pihak Kuwait Petroleum Corporation (KPC), disebabkan pihak KPC meminta insentif terlalu banyak yang tidak mungkin dikabulkan karena melanggar Undang Undang Perpajakan. Yang sedang ditunggu adalah proses kajian kerjasama pembangunan kilang minyak dengan Aramco Saudi Arabia.

Kesadaran bersama akan krisis energi yang mengarah pada darurat energi saat ini harus dibangun pula lewat dukungan terhadap pencanangan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW oleh pemerintahan Jokowi. Sayangnya target pemasangan yang begitu tinggi pada lapisan pelaksana dibawah terdapat laporan tidak begitu menggembirakan. Program percepatan pembangkit listrik nasional lewat Fast Track Program (FTP) Tahap II sebenarnya adalah hanya 17.918 MW pada tahun 2022. 

Energi Baru dan Terbarukan (EBT) juga sebetulnya dimandatkan untuk menjadi tulang punggung dari Program FTP tersebut, namun pembangunan pembangkit panas bumi masih jauh dari harapan. Target sampai dengan tahun 2022 untuk pembangkit listrik panas bumi adalah 6500 MW namun baru terpasang saat ini hanya 1,342 MW. Sangat jauh jika akan diandalkan menjadi tulang punggung dari pembangunan pembangkit listrik 17.918 MW. 

Jika  PT PLN dan pihak swasta diharuskan mengejar target untuk membangun 6500 MW pada 2022 berarti setiap tahun harus membangun pembangkit panas bumi (geothermal) berdaya 600 MW, sementara saat ini kemampuan rata-rata hanya 120 MW per tahun.

Yang diharapkan mampu memenuhi target 17.918 MW sebenarnya adalah energi batubara yang relatif lebih cepat pembangunannya dibandingkan pembangkit panas bumi. Lagipula cadangan batubara di bumi Indonesia masih melimpah ruah yakni sekitar 35 miliar ton sampai dengan 200 tahun mendatang. Komposisi ideal sebenarnya bisa lewat pembangunan pembangkit listrik berdasarkan pembangkit batubara 65 persen, delapan persen gas, dan sisanya dari energi terbarukan. 

Belum lagi jika perbincangan masuk pada pemanfaatan energi nuklir untuk membangun pembangkit listrik di Indonesia. Hambatan untuk mengenalkan energi nuklir akan sangat banyak. Termasuk penolakan dari masyarakat yang lokasinya akan dijadikan pembangkit listrik tenaga nuklir. Padahal energi nuklir selain bersih, juga sangat membantu percepatan dan luas cakupan wilayah yang bisa segera teraliri listrik sampai ke desa-desa. 


Program-program sosialisasi untuk menyadarkan publik akan keadaan krisis energi nasional harus tetap diupayakan. Pencabutan subsidi harga BBM merupakan salah satu jalan agar penggunaan bahan bakar minyak dapat lebih dihemat lagi, setelah sekitar 40 tahun dimanjakan oleh subsidi BBM. Anggaran keuangan nasional dapat dialihkan untuk pembangunan segera Infrastuktur Energi Baru dan Terbarukan, Geothermal, Gas dan Batubara yang masih mempunyai cadangan sangat besar. 

                                                                    -Selesai-










 




Thursday, May 21, 2015

SEKALI LAGI TENTANG KRISIS ENERGI NASIONAL (II)



Pada satu forum yang membahas tentang Kedaulatan Energi di Yogya tahun 2013, seorang Wakil Menteri ESDM masa pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluh tentang betapa susahnya menginstruksikan jajaran dibawahnya untuk segera menjalankan action plan tentang percepatan pengembangan energi non fosil untuk mengantisipasi krisis energi yang terjadi. Disebutkan bahwa instruksi dan berkali-kali koordinasi penting untuk melaksanakan hal tersebut selalu terlambat di respon para pelaksana dibawahnya.



Dari gambaran singkat yang diberikan pejabat tinggi negara tersebut segera tergambar betapa beratnya hambatan yang dibangun oleh kalangan tertentu untuk menghalangi rencana pembangunan dan pengembangan energi non fosil seperti bio ethanol, bio massa, bio diesel, gas dan geothermal, energi angin, energi matahari, dan berbagai macam varian alternatif untuk mengurangi ketergantungan energi kepada minyak bumi. Tentunya sinyelemen adanya mafia minyak yang bercokol di berbagai tingkatan dalam rangka mempertahankan penggunaan energi fosil menjad bahan kajian terus menerus dalam upaya memeranginya.



Dibandingkan dengan negara lain dikawasan ASEAN saja, kesadaran untuk segera mencari alternatif pengganti energi fosil dengan energi baru dan terbarukan sudah menjadi kebijakan resmi pemerintah.  Di Thailand, pemakain bahan bakar gas (BBG) begitu gencar, meluas dan sudah menjadi kebutuhan nasional. Dimana-dimana dibangun SPBG atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas. Khalayak di Thailand dapat dengan mudah menemui pompa pengisian untuk mengisi bahan bakar kendaraan umum. Bangsa Thailand menyadari bahwa cadangan energi minyak bumi akan segera habis dan harus cepat-cepat mencari alternatif bahan bakar ramah yang masih mempunyai cadangan memungkinkan, juga ramah lingkungan. Infrastruktur untuk membangun kebutuhan pemakaian bahan bakar gas sudah dibangun dengan kompak, mulai dari produksi sampai pada penyediaan converter di kendaraan umum untuk kemudahan mengisi BBG.
 
Di Indonesia sampai dengan saat ini masih berkubang pada masalah infrastruktur BBG yang tidak segera dibangun. Stasiun BBG masih amat jarang dapat ditemui, begitu pula penyediaan converter gas di kendaraan umum. Masalah pembangunan infrastruktur untuk energi baru dan terbarukan memang masih menjadi kendala besar bagi pengembangan energi alternatif. Hal tersebut menunjukkan belum padunya keinginan besar dari penyelenggara negara atas program pengembangan energi alternatif dengan program-program yang dirancang secara terintegrasi dengan jajaran terkait disemua lini. Hal mana kendala tersebut harus segera diatasi oleh pemerintahan baru saat ini.

Pengembangan energi alternatif baru digagas secara sporadis oleh beberapa pemerintahan daerah, juga kelompok-kelompok masyarakat dan perguruan tinggi. Di Bogor sudah empat tahun sekitar 30-an bus Trans Pakuan menggunakan bahan bakar biodiesel campuran solar dan minyak jelantah sisa rumah tangga. Meskipun hanya uji coba, tetapi oleh BLHD Kota Bogor terbukti tingkat pencemaran udara penggunaan biodiesel jelantah-solar amat rendah. Program yang sudah berjalan dengan baik dan dinikmati warga Bogor. Hanya yang perlu dicermati adalah efek dari kerusakan mesin kendaraan yang masih menjadi bahan diskusi antara kualitas bahan baku minyak jelantah-solar dengan campuran bahan kimia oleh produsen energi alternatif biodiesel PT Mekanika Electrica Ega (MEE). Kota Bogor memang menjadi peserta dari asosiasi kota sedunia yang berkomitmen untuk menjaga lingkungan hidup lewat forum International Council for Local Enviroment (ICLEI).


Di Tirtomulyo Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (FMIPA UNY) telah membuat inovasi untuk membangun energi angin lewat kincir angin vertikal tipe Savorius dan mampu mengaliri listrik untuk beberapa puluh rumah tangga desa. Kincir angin vertika Tipe Savorius cocok untuk iklim di Indonesia yang mempunyai angin kecepatan rendah dan berubah-ubah. 

Di Desa Ngentak, Srandakan, Bantul, inisiatif warga lewat Komunitas Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH), telah membantu menyuplai 70 % kebutuhan listrik desa kawasan pantai tersebut, sisanya masih lewat suplai listrik PLN. Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid di desa Ngentak masih merupakan kombinasi dari energi angin lewat pembangunan kincir angin tepian pantai  dan panel tenaga surya, dan telah sukses berjalan selama tiga tahun.

Di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, tengah dikembangkan percobaan penggunaan bahan bakar limbah plastik dan ban bekas untuk memproduksi bahan bakar setara solar. Saat ini mahasiswa Fakultas Teknik Perminyakan UP45 tengah giat menguji coba hasil pembakaran limbah plastik tersebut menjadi bahan bakar energi alternatif.



Dari berbagai contoh singkat inisiatif kelompok warga dan perguruan tinggi untuk mewujudkan penggunaan energi alternatif baru dan terbarukan menjadi tanda bahwa diperlukan kesamaan langkah, niat dan program terpadu negara dalam pengembangan energi baru dan terbarukan yang harus segera dimulai dengan sungguh-sungguh.














Wednesday, May 20, 2015

SEKALI LAGI TENTANG KRISIS ENERGI NASIONAL (I)


Sebagaimana diketahui, saat ini kinerja produksi migas nasional ditandai dengan terus menurunnya produksi migas dari level tertinggi 1,6 juta barel per hari tahun 1981 menjadi 792,000 barel per hari di tahun 2014. Disisi  lain, konsumsi migas meroket dari 390,000 barel per hari tahun 1980 menjadi 1,6 juta barel per hari tahun 2014. Sementara saat ini Indonesia menjadi negara pengimpor minyak dan solar terbesar di dunia. Impor minyak menjadi sumber defisit transaksi berjalan sebesar 19,7 milyar dolar AS pada Januari – September 2014. Dari besaran itu, sumber defisit minyak menjadi penyumbang terbesar yakni 18,2 milyar Dollar AS, yang menjadi biang keladi buruknya nilai tukar rupiah.

 

Dari berbagai sebab memburuknya kinerja produksi minyak nasional disebutkan antara lain bahwa 80 % dari total lahan merupakan lapangan tua, selain itu kadar air sumur tua juga sangat tinggi, sehingga perusahaan harus mengeluarkan tenaga ekstra dalam memproduksi minyak.  Disebutkan juga bahwa tidak hanya kendala teknis yang menghambat produksi, kendala non teknis pun bisa berpengaruh seperti tumpang tindih lahan, susahnya izin kepala daerah, dan faktor lainnya.



Padahal jika dibandingkan dengan negara penghasil minyak utama dunia seperti Arab Saudi dan Lybia, tingkat pengurasan cadangan minyak Indonesia ternyata sangat tinggi, mencapai delapan kali laju pengurasan dibanding kedua negara penghasil minyak tersebut.


 
Indonesia yang memiliki cadangan 4 miliar barel telah memproduksi minyak rata-rata 1 juta barel per hari. Artinya, reserve to production ratio Indonesia hanya  4. Angka ini jauh dibawah angka Arab Saudi dan Lybia.


Dengan cadangan minyak mencapai 265 miliar barel, Arab Saudi hanya memproduksi minyak rata-rata 8 juta barel per hari atau tingkat reserve to production ratio mencapai 35. Sementara Libya, yang memiliki cadangan minyak 46 miliar barel dan tingkat produksi 1,5 juta barel per hari, memiliki rasio 30. Artinya cadangan minyak Indonesia 8 kali lebih cepat habis dari dua negara tersebut.



Ironisnya diketahui kemudian bahwa dengan tingkat pengurasan yang begitu tinggi melampaui tingkat pengurasan cadangan minyak dari negara produsen utama minyak bumi dunia, ternyata laju pengurasan minyak oleh perusahaan negara Pertamina hanya 4,5 % dibanding rata-rata pengurasan cadangan minyak nasional yang  mencapai 8,8 %. 


Pertamina melalui anak usahanya, PT Pertamina EP, memiliki wilayah kerja terluas, yaitu 138 ribu kilometer persegi atau 48 persen dari seluruh perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, namun produksi per kilometer persegi Pertamina baru sekitar 0,89 barel per hari. Jika dibandingkan dengan PT Chevron Pacific Indonesia, yang hanya memiliki wilayah kerja 8.700 kilometer persegi, tingkat produksi Chevron telah mencapai 41,30 barel per hari per kilometer persegi.


Kini perusahaan minyak asal Amerika Serikat itu masih menjadi produsen minyak bumi dan gas terbesar di Indonesia dengan kapasitas 356 ribu barel per hari. Sementara itu, Total EP Indonesie hanya memiliki luas wilayah 3.121 kilometer persegi, namun produksi per luas wilayah perusahaan asal Prancis ini mencapai 28,64 barel per hari per kilometer persegi. Total EP memproduksi migas 82.232 barel per hari, atau 9.768 barel lebih rendah dari target sebesar 92 ribu barel.


Dari gambaran diatas tergambar jelas bahwa dengan tingkat konsumsi per hari yang mencapai 1,6 juta barel  dan kemampuan produksi minyak nasional yang hanya 792,000 barel/hari, Indonesia membutuhkan impor minyak sebanyak 800,000 barel/hari. Celah impor ini yang kemudian menimbulkan banyak sekali kontroversi dan persoalan energi nasional yang dapat dipolitisasi, seperti permainan harga, penyelundupan BBM, adanya mafia migas dan mafia ESDM  yang bermain dalam impor BBM dan menghambat pengembangan energi alternatif non  fosil, menghalangi pendirian kilang-kilang minyak baru, dan hal  negatif lain yang dapat merusak tatanan politik dan perekonomian nasional. Selain menjadi sumber defisit APBN, kekisruhan pemenuhan kebutuhan energi migas nasional juga mengundang tuntutan akan rekonstruksi dan reformasi tata kelola migas. 



Selama ini kita terjebak dengan pola pengelolaan energi yang sangat tidak efisien, kita terbiasa dengan pola konsumsi energi yang sangat boros. Hal ini juga nampaknya disadari oleh pemangku negeri namun belum nampak adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan. 


Melimpahnya produksi minyak Indonesia pada masa lalu antara 1977 hingga 1997, yang melebihi konsumsi dalam negeri mengakibatkan kita terlena dan kurang memperhatikan efisiensi pemakaian energi maupun dalam pemanfaatan revenue hasil penjualan minyak.


Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah penduduk Indonesia pada 2010 lebih dari 234 juta jiwa. Dengan penduduk sebanyak itu, dari data yang ada di Kementrian ESDM tampak bahwa pemakaian migas kita justru terbesar untuk sektor transportasi, yaitu sekitar 47 persen, dan rumah tangga sekitar 22 persen. Sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi besar bagi petumbuhan ekonomi yaitu industri dan pembangkit listrik, masing-masing hanya menyerap 22 persen dan 9 persen.


Kenyataan ini sejalan dengan masih tingginya nilai intensitas energy Indonesia, yaitu energy yang dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatan domestic bruto (GDP) sebesar 1 juta US Dollar serta angka elastisitas energi Indonesia, yaitu persentase pertumbuhan energi yang diperlukan untuk menaikkan satu persen tingkat pertumbuhan ekonomi.


Data yang ada menunjukkan bahwa angka intensitas energy kita adalah 482 TOE (Ton Oil Equivalen) per kapita, sementara rata-rata intensitas energi lima negara tetangga dikawasan ASEAN hanya sekitar 358 TOE, angka intensitas energi Jepang bahkan hanya 92 TOE. 


Perbandingan elastisitas pemakaian pemakaian energi Indonesia menjadi sangat tinggi yakni mencapai 1,84 lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (1,69) dan Thailand (1,16), sementara Jepang hanya 0,1. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemakaian energi Indonesia lebih boros dibandingkan negara-negara tersebut. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari kelemahan sinergi kebijakan disektor energi dan sektor-sektor terkait lainnya seperti transportasi, industri, komersial dan rumah tangga. (BERSAMBUNG).




Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...