Urusan pemisahan agama dan politik telah lama menjadi polemik politik dunia. Sejak zaman renaissance pada abad pertengahan, agama dinilai terlalu dalam ikut campur dalam perkara politik pemerintahan. Hingga akhirnya muncul ide untuk memisahkan agama dari urusan politik.
Statement Presiden Jokowi tentang pemisahan agama dan politik, mencerminkan
kegelisahan terhadap kembalinya politik aliran. Politik aliran, sebagai buah
dari peta pertarungan politik Indonesia pasca kemerdekaan, lahir dari realitas sosial
Indonesia yang tumbuh mengilhami pengelompokan sosial politik kemasyarakatan
kita.
Bagi kelompok yang berangkat dari ideologi
Keislaman, urusan agama tidak dapat dipisahkan dari urusan dunia. Islam menuntun
ummatnya dalam segala hal. Aspek
politik, tata negara, sosial, ekonomi dan budaya. Pemisahan urusan agama dengan
politik, ditolak oleh Islam sebagai ideologi sekuler.
Bagi kelompok yang beraliran sosialisme, komunisme
dan kelompok nasionalis liberal, agama harus terpisah dari urusan politik.
Sebagaimana sejarah kebangkitan Eropa.
Indonesia modern, dipandang harus mengadopsi aspek
modernitas yang mencerminkan tata keteraturan, pertanggungjawaban, kompetensi
dan kepatuhan terhadap kaidah organisasi. Bagi kelompok nasionalis sekuler,
pemenuhan unsur modernitas tersebut diluar wilayah agama. Harus
ada sosok modern dan kredibel untuk
melaksanakan agenda-agenda modernisasi.
Perbedaan sudut pandang ajaran dan ideologi inilah yang menyebabkan
ketegangan-ketegangan sosial pada Indonesia mutakhir. Bagi kelompok agama
(Islam), semua aspek yang dipersyaratkan oleh pandangan dunia modern ada dalam
ajaran Islam. Terlebih aspek kompetensi dan kredibilitas (baca: kejujuran).
Apakah Indonesia modern memang harus memisahkan
agama dan politik untuk mencapai Indonesia yang lepas landas? Bagaimana halnya,
jika konflik dan ketegangan sosial yang ada lebih diperparah oleh adanya stigma
kooptasi dan dominasi negara oleh sekelompok kecil elit yang menguasai 80 % kekayaan
Indonesia?
No comments:
Post a Comment