Tuesday, August 14, 2012

HIKAYAT NEGERI BERTUAH


Jangan biarkan negeri ini  hancur lebur punah jadi abu, dengar alunan doa keramat orang-orang papa. Meriuh dalam tangis dikangkangi kesombongan pembesar-pembesar keturunan dajjal.  Tanah, air, laut dan udara yang dikapling oleh kerakusan purba telah mengubah wajah negeri menjadi negeri  kera, yang bergelantungan kesana kemari mencari mangsa dengan cara-cara curang dan licik.

Ingatlah ketika jaman merkantilis, petualang-petualang putih bagai sebarisan iblis pembunuh yang merasuk merusak kemana-mana keseluruh pelosok negeri. Menancapkan bendera kekuasaan dan kepongahan ditanah pusaka, tanah keramat yang direstui Tuhan, sambil berkata bahwa mereka membawa missi dari Tuhan pula, untuk menjajah negeri  bangsa lain. Bagai kera yang berlaku curang dan licik menguasai hajat hidup tanah jajahan.
Mencengkeram daya hidup dan adab jiwa tanah adat. Memaksakan hukum-hukum ciptaan kepala nenek moyang mereka, untuk dipakai dalam keseharian rakyat bengek, yang hidup kembang kempis hari demi hari.  

Lalu tibalah hari amarah-angkara. Pemberontakan terhadap para kera licik yang keterlaluan. Para Teungku, Teuku, Panglima, Pangeran, Raja, silih berganti melawan kekuasaan para kera yang menang secara teknologi persenjataan. Darah mengalir bagai air sungai surga, mengharum semerbak aura syahid dan syahidah.  Kematian demi kematian tiadalah seberapa, dibanding kegarangan pesan mendidih kepada para kera bahwa tidaklah boleh, dan haram menghina dan menginjak-injak martabat tanah indatu, yang dihormati berabad-abad.
Sampai akhirnya hari kemenangan tiba. Bak kemenangan hari raya yang disambut gegap gempita oleh segenap rakyat di seantero negeri. Kebebasan dari kaum kera kulit putih selama beberapa abad. Seluruh kaum, rakyat adat, lapisan-lapisan rakyat akar rumput turun tumpah ruah dalam pawai-pawai gempita kemenangan. Tekad dan sumpah mempertahankan kebebasan bergema dimana-mana, walau setelah itu harus kembali bertarung dalam Padang Kurusetra perang ganas melawan punggawa-punggawa kera kulit putih yang mencoba balik menguasai tanah keramat.


Tak bisa, tiadalah bisa engkau kaum jahat hati berperangai kera kembali menginjak-injak tanah leluhur  warisan para indatu. Kalimat-kalimat suci dari langit dan kalimat-kalimat luhur para tetua yang terwarisi dalam semangat perlawanan terbukti tiadalah bisa engkau lawan.  
Namun kini, ya Tuhanku, negeri keramat ini kembali dilanda bencana demi bencana dari murka alam, kemarahan demi kemarahan dan caci maki syak wasangka. Tidak lain tidak bukan karena sekumpulan kera dusun kecil yang termakan sifat serakah dan budaya primitif yang dibawa para turunan laknat kera kulit putih. Mencoba kembali menguasai hajat hidup akar rumput, kebun hijau dan lembah menyejukkan dari negeri para indatu. 
Hanya kalimat-kalimat bijak dan peringatan yang dapat disampaikan oleh para tetua negeri agar amarah-angkara tidak lagi menguasai negeri, menumpahkan darah suci para syahid syahidah.

Mari, hentikanlah mewarisi sifat-sifat kera penguasa-penguasa lalim jaman merkantilis, jika engkau telah jadi budak belian petualang-petualang kulit putih jaman Neolib. Menghisap lalu meninggalkannya dalam ketiadaan aliran darah ditubuh, persis seperti drakula pembunuh. Meninggalkan lubang-lubang raksasa bekas galian tambang, meninggalkan hamparan hutan gundul yang engkau bilang itu kesalahan  peladang. Engkau ciptakan iklim ketergantungan kepada modal asing dari bank-bank raksasa milik Negara-negara dunia pertama, yang mereka sendiri sekarang tengah sekarat mengatasi kerumitan dampak sistem kapitalisme yang mereka bangun.

Sekarang para kera kulit putih memang tidak lagi membawa pasukan pembunuh seperti jaman para indatu, tapi  mereka membawa sederet peraturan, konsep, gagasan dan budaya yang dipaksakan ditelan mentah-mentah oleh punggawa-punggawa kerajaan gagap, dan para penikmat hedonisme mabuk obat bius.


Tetapi walau tidak membawa barisan pembunuh, segala aturan dan regulasi, sistem dan konsep yang ditelan mentah-mentah itu telah berdampak sama, bahkan lebih, dibandingkan korban-korban era merkantilis dulu, membawa kesengsaraan, penjarahan lahan adat dimana-mana, busung lapar dan gizi buruk, serta pembodohan massal. Ditingkahi adat budaya para kera pencoleng uang negeri.

Persis seperti ungkapan sang Subcomandante Marcos, pemimpin gerakan perlawanan “Zapatista” di Meksiko : “Kesalahan utama Neolib adalah berpikir bahwa orang bisa maju melawan sejarah. Campur tangan yang terjadi dalam kasus tanah, berlagak membangun kepercayaan bahwa disini tidak pernah ada sejarah, kebudayaan, atau apapun lainnya” (“Bayang Tak Berwajah”, Ronny Agustinus, 2005).


Era petualangan kulit putih Neolib ini harus disudahi. Sebagaimana dahulu nenek moyang mereka para petualang merkantilis menghadapi doa dan perlawanan para indatu. Sebab jika tidak dihentikan dengan segera, amarah-angkara akan semakin menjalar dengan berita dari kaum ke kaum, yang diberitakan lewat mangkuk berisi darah, sebagaimana adat budaya Dayak di pedalaman Borneo, adat yang menandakan bahwa perlawanan semesta akan segera dimulai terhadap kelaliman. Cegah jangan sampai darah di dalam mangkuk itu bergerak mendidih.

Lihatlah tanah Mesuji dan Bima yang membara, Bekasi pun kembali meneriakkan sajak-sajak menggetarkan dari pujangga Chairil Anwar : “kami yang terbaring antara Karawang – Bekasi..”, lalu bara perlawanan yang mulai merebak dimana-mana. Sementara sang penguasa gagap terus tenggelam dalam kebodohan kolektif mempertahankan ego primitif para pemodal, persis tingkah para kera jaman merkantilis. Dipojok sana, ulah kebanyakan para begawan bijak pengemban amanah rakyat di gedung mewah semakin memalukan dan menjijikkan.

Ingatlah, amanah rakyat adalah kredo suci yang akan membawa mudharat turun temurun ke anak cucumu, bila engkau gagal mengembannya atau bahkan mengkhianatinya. Karena doa dan rintihan itu akan terus mengembara memenuhi ruang dan waktu, mengabarkan ke segenap dimensi kehidupan alam raya, bahkan ke keheningan langit ke tujuh, dimana doa-doa orang lemah dan alim yang teraniaya akan di ijabah.

Kembali ke kearifan anak negeri tiadalah salah dan tiadalah memalukan. Karena kearifan itulah yang telah memelihara tanah tempat berdiri dan beranak pinak dari kehancuran bersebab murka alam. Tiadalah pula salah dan keliru menempatkan harga diri anak negeri dihadapan keturunan para kera kulit putih jaman merkantilis, yang selalu mewarisi semangat primitif nenek moyangnya. Karena dengan harga diri anak negeri itulah selamat anak cucu sekalian.

Dunia, hidup dan kehidupan ini akanlah aman dan sejuk jika selalu menempatkan kearifan kaum adat, harga diri anak negeri dan keteguhan memegang prinsip-prinsip luhur warisan para tetua.

-Pril Huseno-

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...