Wednesday, August 15, 2012

NASIB BURUH DAN LEBARAN SUCI

Musim lebaran ini, tentunya yang paling asem-asem pahit adalah nasib buruh. Apalagi yang THR nya belum dikeluarkan oleh perusahaan. Capek sudah bertanya ke Supervisor kapan kira-kira THR keluar, dijawab berdoa sajalah. Itu artinya harapan tipis. Setipis badan operator mesin genset yang kebanyakan merokok kala senggang, dan bergadang cari tambahan. 

Buruh dikala musim akhir puasa adalah spesies paling sengsara di-jagad Indonesia Raya, negeri kaya raya "gemah ripah loh jinawi". 

Dapat THR satu bulan gaji UMP saja bukan main senangnya plus sujud syukur. Terselamatkan sudah Hari Raya dengan baju baru anak dan istri disertai ketupat lebaran dan opor ayam satu  dua porsi. Jangan tanya dulu apakah itu sudah plus bonus atau belum. tidak ada kata bonus dalam kamus buruh rendahan. Itu hanya milik Supervisor dan Manager ke atas. Dapat THR adalah "Economic Miracle" dalam keseharian buruh, apalagi buruh harian dan buruh kontrak. 

Bagi mereka yang sampai hari ini belum juga dapat THR, itu artinya lebaran tahun ini sudah selesai. Sudah lewat sampai Tambun dan Karawang, tidak mampir itu Hari Raya di Jakarta atau Yogya dan Surabaya. Apalagi di rumah-rumah kost buruh. "Good Bye My Dream, you are not my Dream Team" kata mereka dalam hati dengan bahasa Inggris Toefl 1500. Segera saja ambil "continjensi plan" pinjam sana-sini demi menyelamatkan muka keluarga sak keturunan buat indahnya Hari Raya. Mau protes atau demonstrasi juga perut lapar karena puasa. Tapi kalau mau dipaksa, ya bisa saja, dengan resiko dapat teguran, SP I, SP II dan SP III karena dianggap melawan pimpinan perusahaan. Lewat pengaduan Depnaker ya sama saja. Pegawai negeri sudah pada sibuk berbelanja lebaran. 

Buruh di negeri maju tak gentar ini adalah lapisan masyarakat yang paling melongo melihat pameran kemewahan busana-busana lebaran, yang ditebar di jalan-jalan ketika Hari Raya. Kita patut menyatakan solider dengan buruh pada hari itu, dengan tidak bermewah-mewah atau berhura-hura ditengah tingginya harga-harga menjelang Hari Raya.

Lapisan terbesar masyarakat kita sesungguhnya amat terhimpit ketika hari kebesaran itu tiba. Kalau bisa sembunyi dulu dibawah bumi mereka akan sembunyi, karena ngeri dengan tingginya harga bahan pokok.  
Pedagang - pribumi dan non pri - seenaknya menaikkan harga demi laba sedahsyat-dahsatnya memanfaatkan momentum lebaran.  Pemerintahpun pura-pura tidak tahu dan berlagak pilon dengan katastropi itu, bahkan menyatakan kenaikan harga menjelang lebaran adalah hal yang wajar.  

Para rohaniwan, ulama dan pendeta, harus segera membuat "ideologi-ajaran langit" paling baru, untuk memberi pemahaman bahwa tiap hari raya bukan untuk jor-joran bermewah-mewah, karena yang merayakan dan berhura-hura itu adalah lapisan sosial paling pucuk dari stratifikasi sosial yang ada. lapisan besar menengah kebawah harus lintang pukang mencari biaya lebaran, demi menyenangkan anak istri dirumah. Alangkah sengsaranya para bapak yang bergaji UMP dan UMR itu. Itu yang jarang sekali dibicarakan dalam tiap kuah-kuah ceramah rohani para ustadz dan ustadzah di televisi. Seolah ummat dan jamaah mereka adalah yang datang di studio TV waktu siaran, diluar itu bukan jamaah tapi boneka pajangan yang tidak bisa pusing dan lapar. Nabi saja menyatakan bahwa pada hari raya cukup memakai pakaian yang terbaik, bukan yang paling baru. 

Buruh, yang menjadi komoditas utama awal orde baru oleh para pejabat sundal, telah dijual dengan harga murah kepada para investor asing, dengan mengatakan buruh kita adalah buruh paling rajin di dunia, dan dapat diberi upah dan makan dengan ubi jalar dan iwak peyek sekedarnya, lalu disuruh kerja lagi. Alias Politik Buruh Murah, demi menarik para investor. Dan sampai sekarang kebrengsekan itu masih terus terjadi.   

Suara-suara mengingatkan memang harus terus diudarakan. Agar katastropi tidak menjadi tsunami sosial yang dapat menjerumuskan apa saja. Kesucian hari raya harus terus dijaga dan dipagari, agar masyarakat kita tidak melulu terjerumus dalam euphoria hari raya yang tidak punya nurani. Lapisan besar masyarakat kita adalah petani dan buruh kontrak, yang perlu pemihakan dan pembelaan terus menerus. Selamat berhari raya dalam sikap mawas diri.  

-Pril Huseno-















No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...