Tuesday, August 14, 2012

Seria Aceh 2 : Berakit-rakit Ke Hulu, Jantungku Mau Copot...

Selepas off road di Teunom menjelang Lamno, kota musnah yang dulu banyak cewek bermata biru, rambut pirang dan tinggi putih, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa harus menyeberangi desa yang telah berubah menjadi muara, dan harus naik rakit untuk pergi ke seberang. ya, tsunami telah merubah wajah kemukiman ini menjadi 2 desa yang berseberangan, dipisahkan oleh muara laut.

Untuk menaikinya kami ditarik 20 ribu permobil, motor 3,000 dan orang 1,000 rupiah. Belum ada mata uang Aceh. Tidak jadi.


Yang kami khawatirkan hanya pada rakit berikutnya, rakit ke 2, kami salah jalan yang seharusnya rakit itu hanya untuk motor dan orang, tapi kami masuk ke daerah itu, dan terpaksalah, kami harus seberangkan juga kendaraan ini untuk sampai ke seberang.


Mata para penjaga rakit memang tajam melihat ke arah kami, apalagi plat B. Ini orang Jakarta, pikir mereka. Kupikir meraka pasti mantan kombatan GAM (gerilya), tegap dan tajam menatap. Tapi untungnya ramah saat berbicara.


Pada rakit pertama yang baru lewat, memang pas untuk penyeberangan mobil. tidak ada masalah apa-apa disitu. 


Tapi yang ini memang bermasalah. Muatan kami dibelakang cukup banyak, tas-tas dan barang-barang titipan orang kampung dalam kardus. belum lagi kami bertujuh, 4 anak perempuan kecil-kecil, satu istri orang, dan si fendi kepala keluarga itu.


Ketika mobil mulai dinaikkan oleh si fendi ke atas rakit, yang terdiri dari 2 buah perahu dijajarkan dan diatasnya diberi papan tebal sbg alas penumpang/kendaraan, mulai terjadi kengerian. Rakit langsung oleh ke kanan, mau tenggelam, tapi tak jadi. rupanya masih cukup kuat. Namun itu sdh cukup membuat 2 orang ibu yang mau menyeberang mengurungkan niatnya dan turun karena ngeri. 


Kuputuskan untuk menyuruh turun penumpang. supaya imbang, kuminta mereka untuk berdiri sebelah sebelah kiri rakit. akhirnya rakit jadi sedikit imbang. kecuali si fendi yang tetap dibelakang kemudi. takut sekali dia kehilangan mobil ini, pikirku. Mending ia membantu ku memegangi ke 4 anaknya agar jika terjadi apa-apa, lebih ada jaminan penyelamatan. Lagipula, apabila benar-benar rakit ini terbalik, apa ia masih bisa mengendarai mobilnya di dasar laut ? gerutuku dalam hati.


Aku memegang erat-erat anak perempuan si fendi. Hrs kuselamatkan 2 bocah ini apabila terjadi apa-apa, pikirku.


Ida, istri fendi ini, rupanya ketakutan dan bertanya polos pada anak muda disebelahnya,"bisa renang mas ya ? katanya. dan dijawab dengan nyengir oleh anak muda tadi :" anak perahu mana ada yang tidak bisa renang maknyak..!" sergahnya, dan diamini oleh sang pengemudi motor tempel perahu. 


Aih si Ida ini, pake memanggil "Mas.." pula dengan anak2 muda disini, Ini dulu daerah rawan. Mas-mas dari Jawa jadi sasaran regu-regu penembak tepat pemberontak Aceh ketika masa-masa konflik, mereka punya "daftar tembak" orangnya. Memanggil mas berarti kami dari Jawa. Untung sudah damai.


Ketika di Karawang 3 tahun lalu, mobilku juga naik rakit menyeberangi sungai Citarum ke desa sebelah, tapi menggunakan tali yang diikat ke seberang, dan ditarik oleh pengemudi utk sampai ke tujuan. Di Aceh sekarang rakit menggunakan motor tempel. Tidak seperti tahun2 70 dan 80 an yang juga menggunakan tali spt di Karawang. Ketika itu di Aceh lebih banyak sungai ketimbang jembatan.


Berangkat perahu tidak masalah, hatiku sudah mulai ketar ketir, takut tenggelam. berdoa dan ayat kursi kubacakan berkali-kali. minta perlindungan kepada Ilahi Rabbi. Rakit ini memang kecil dan nekat sekali kami harus naik ini rakit. terlalu beresiko.


Ketika sampai 3/4 jalan menuju seberang, mulailah gelombang muara dari laut menerpa rakit. anginpun kencang. wah, rakit beserta toge eh isinya... (jadi ingat tahu isi toge)...jadi berguncang-guncang ke kiri kekanan. Mengerikan. Persis seperti ayakan terigu jaman dulu yang digoyang-goyang emak2 ku dulu, kekiri dan kekanan. 

Anak dan istri teman terdiam, penumpang terdiam. apalagi si fendi didalam mobilnya. tanganku saja sampai mencengkeram kaca mobil yg terbuka separuh krn grogi luar biasa. sementara tangan yg lain memegang lengan dua anak kecil disamping. 


"Ayakan" laut muara itu memang luar biasa ngeri, sedikit saja grogi itu si pengemudi rakit, bisa dipastikan kami akan terbalik bersama-sama isi rakit + si fendi dan mobilnya. Aku pandai berenang, tapi kalau memegang 2 anak kecil dan ditengah gelombang muara ini apa bisa aku selamatkan 2 anak ini ? 


Doa terus menghambur dari bibir, lutut serasa lemas digoyang-goyang rakit ke kanan ke kiri. Ini baru rakit, pikirku, belum dihantam gelombang tsunami maut. "hutang-hutangku masih banyak yang belum lunas.." pikirku, harus selamat ini. Kucoba untuk tenang dan melihat wajah anak istri fendi. pucat pasi. Begitu pula wajah kelamku, kupikir. Jantung berdebar-debar keras.


Sang pengemudi rakit rupanya cukup tenang menghadapi gelombang muara dan rakit ini. terus dia berusaha sambil melihat dari bawah kolong mobil arah ke pinggir seberang. motor tempel terus ia arahkan melawan gelombang muara.


Akhirnya sampai juga perjuangan perahu tempel isi toge ini ke tepian desa seberang. Berakhir juga ketegangan itu yang amat mengerikan. hampir mati kami ditelan ombak muara teunom. Alhamdulillah. hari sudah mulai gelap karena masuk maghrib


Begitu rakit merapat segera kumeloncat lebih dulu dan menyuruh anak2 untuk segera turun menjauh dari air. Berbahaya daerah ini.


Rupanya begitu sampai Banda Aceh, diceritakan bahwa belum lama memang ada rakit yang terbalik dan ada mobil yang tenggelam ke dasar muara. Muara itu rupanya tidak dalam, hanya 5 - 7 meter katanya, dan mobil itu bisa dibawa kembali kedarat setelah ada penyelaman oleh anak2 muda dan mengikat dengan tali kemudian ditarik truk dari pinggir muara. 


Tidak dalam tapi kalau sudah 5 - 7 meter ya bisa bikin Duuut...juga mister, kataku. Ada-ada saja Aceh ini.


-Pril Huseno-


No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...