Sunday, August 19, 2012

Serial HUT RI (1) : Yogya, Aceh dan Kemerdekaan RI

Hari ulang tahun kemerdekaan RI ke 67 kali ini diwarnai kegamangan saat pidato presiden RI dalam rangka menyambut 'Agustusan' yang menyebutkan keprihatinan beliau terhadap makin merebaknya korupsi di segala lapisan penyelenggara pemerintahan. Disebut pula 'kroni' tiga pilar demokrasi : Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif  dalam mengabadikan budaya korupsi yang semakin susah diberantas.

Entah sengaja atau tidak, dihari-hari menjelang tanggal 17 Agustus 2012, Antasari, mantan ketua KPK yang menjadi narapidana kasus pembunuhan Nasruddin, seorang Direktur perusahaan swasta di Jakarta, tiba-tiba menyebut SBY lah yang mempimpin rapat untuk mem 'Bail-Out' Bank Century sebesar Rp. 6,7 Trilyun dalam beberapa tahap pencairan uang. Informasi yang diblow-up Antasari tersebut kemudian menjadi 'trending topic' yang membuat heboh dunia hukum dan menggoyang langgam antikorupsi yang didengung-dengungkan pemerintah. Walau kemudian ada klarifikasi dari presiden untuk masalah tersebut, namun publik sudah terlanjur beranggapan (dan menjadi rahasia umum) bahwa masalah Bank Century memang masalah seputaran Istana, yang KPKpun dibawah Busyro Muqoddas tersungkur, dan harus merelease berita bahwa tidak ada korupsi dalam kasus Bank Century. "Tai kucing apalagi ini..?" kata alm.Rendra dalam sebuah puisinya. 

Dan lalu orang seolah tergelak geli ketika presiden menyatakan keprihatinannya dengan menyebut korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang telah menjadi benalu dalam perjuangan anti korupsi yang melibatkan tiga lembaga pilar demokrasi di atas. Dihubungkan dengan statement Antasari yang bak pepatah 'melempar kotoran dimuka awak'. Antasari bukan lagi sebagai 'whistle blower' tapi sudah sebagai 'the man who throwing dirt  into the faces of  some guy'. 

Hal yang saya sebut diatas adalah masalah krusial yang dialami negara ini pada dekade terakhir. Bagaimana korupsi di era kepemimpinan sekarang telah menjadi wabah yang semakin meluas, brutal dan tidak tahu malu. Pilar-pilar demokrasi yang seharusnya menjadi alat negara- bangsa untuk ikut berperan dalam pemberantasan korupsi berubah menjadi sarang penyamun yang ikut berebut rejeki haram dari para bandit berdasi. Tidak tahu malu karena sebagian pelaku kejahatan luar biasa itu adalah para kader partai yang tengah berkuasa dengan presiden sebagai Ketua Dewan Pembina. Lalu mendekati Hari Kemerdekaan RI yang ke 67 Antasari meledakkan peluru yang menghebohkan itu. Lengkap sudah derita tidak tahu malu yang diusung partai berkuasa.

Brutal dan tidak tahu malu karena para anggota legislatif dan yudikatif juga berbuat hal senada. Anggaran negara yang disahkan oleh Badan Anggaran DPR tidak akan clear kalau tidak ada janji 'apel-apel' yang bertebaran keluar dari mulut mungil Angelina Sondakh, si pesakitan KPK. Walau setengah mati tidak mengaku di sidang pengadilan, namun tetap saja janda cantik itu merasakan dinginnya sel penjara KPK dan sekarang mendekam dalam sel tahanan wanita Pondok Bambu. Lalu apa yang harus disukuri dari serangkaian perkara korupsi yang berujung pada pemenjaraan kelompok elit DPR dan Kehakiman dalam memaknai Hari Kemerdekaan ? 

Kalau Anas Urbaningrum berani menantang orang nomor satu di republik ini tentulah karena dia tahu benar, dan pasti memegang kartu-kartu truf jitu untuk menghantam balik, karenanya, kita kemudian bisa melihat kemesraan kembali Anas dengan jajaran pengurus partai berkuasa termasuk lingkaran istana.

Negara dengan usia 67 tahun ini sesungguhnya sedang gamang menghadapi hari depan dengan menggilanya kasus korupsi dari pusat sampai daerah tingkat II.

Lihatlah para Bupati, Gubernur dan Walikota, anggota legislatif, Yudikatif dan Eksekutif pelaksana roda pemerintahan masuk penjara. Seolah tidak pernah bakal berakhir. Tak pernah berakhir karena bidikan sekarangpun mengarah ke orang nomor satu dalam mencuatnya kembali kasus Bank Century. Adakah negara-negara di lingkar ASEAN saja, yang mengalami kasus-kasus korupsi mengerikan seperti yang kita alami ?

Kasus Korea Selatan dalam memberantas korupsi patut dijadikan contoh. Ribuan pegawai negeri Korea Selatan masuk penjara, Chun Doo Hwan sang mantan presiden masuk pula bui karena kasus korupsi. Kalau itu yang mau dituju oleh para pegiat antikorupsi dan KPK, maka harapan perbaikan pasti akan selalu ada.; asal tidak menjadikan patah semangat bila gagal dalam tahapannya. Jenderal-jenderal Korea Selatan juga pernah dimasukkan penjara oleh Jenderal Park Chung Hee, dalam rangka membersihkan Korea Selatan dari praktek korupsi. Jika saat ini kita melihat jenderal-jenderal di kepolisian 'melawan' dalam kasus simulator SIM, maka itu hal yang wajar dan juga sebagai batu ujian kita sebagai bangsa yang hendak lepas dari belenggu korupsi. Angka cadangan devisa RI yang katanya tertinggi dalam sejarah - 106,50 milyar dollar, menjadi tidak berarti jika kita ternyata punya hutang sampai Rp.1900 trilyun. Yang menggelikan adalah, kengerian mendengar angka hutang negara yang demikian fantastis dijawab oleh para pemikir ekonomi pemerintah bahwa kita sanggup membayar cicilan bunga dengan angka yang lebih besar setiap bulannya, karena cadangan devisa RI tertinggi dalam sejarah.  

Gurita korupsi yang membelit sendi-sendi perekonomian negara akan menggerus cadangan devisa dengan banyaknya program perbaikan infrastruktur yang rusak, rehabilitasi ekonomi daerah yang gagal didayagunakan, program penyelamatan anak bangsa yang kelaparan dan kurang gizi karena sasaran program yang tidak tepat sasaran dan niat, karena dipakai untuk kepentingan elit daerah, dan lain hal yang membajak kepentingan penggunaan devisa negara.

Sektor riil yang terengah-engah karena minimnya pembelaan pemerintah dalam melindungi industri dari serbuan barang impor Cina, dan serbuan mafia anggaran dalam penjualan aset negara BUMN strategis, yang lagi-lagi, diperankan oleh 'kroni' legislatif, yudikatif, eksekutif. Mau kemana negara bangsa ini minta perlindungan dari kejamnya gerombolan tersebut ?

Itulah menurut saya kado terbesar Hari Kemerdekaan RI ke 67 kemarin. Sebuah pekerjaan rumah bagi segenap elemen bangsa yang masih berharap dan berjuang demi terwujudnya kemakmuran rakyat dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, kecuali para bandit berdasi. Sebuah tantangan besar yang datang justru dari lingkaran 'gedung putih' istana dan gedung-gedung megah anggota terhormat legislatif dan lembaga peradilan. Ternyata, binatang pengerat itu bukan datang dari sawah-sawah para petani atau pengapnya ruang diesel industri yang dijaga para buruh dengan setia, tetapi dari gedung-gedung megah di pusat kota..

-Pril Huseno-
  
 




No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...