Menteri Darmin sedang gundah. Pasalnya, banyak pengusaha yang mengadu kepada Menko
Perekonomian itu tentang regulasi tata niaga yang dirasa menyulitkan dan
menimbulkan ketidakpastian.
Parahnya lagi, kondisi yang saat ini banyak berimbas
pada kinerja industri, investasi, ekspor dan inflasi tersebut muncul setelah
adanya Deregulasi melalui Paket-paket
Kebijakan Ekonomi yang sudah mencapai tahap ke 13 di era Presiden Jokowi.
Saat ini ternyata banyak muncul regulasi baru di
Kementrian yang menghambat iklim kemudahan usaha. Disebutkan
ada 12 larangan terbatas (lartas) baru, 9 diantaranya belum sesuai dengan
arahan paket kebijakan ekonomi. Tahun
2015 regulasi yang menghambat ekspor-impor sempat turun, tapi di 2016 malah
bermunculan regulasi baru yang bahkan tidak berkoordinasi dengan Satgas Deregulasi.
Tentunya hal diatas menimbulkan tanda Tanya besar.
Apakah spirit 13 Paket Deregulasi Ekonomi yang digaungkan Presiden Jokowi
ternyata tidak dipahami pada tingkat pelaksana ?
Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negara “Die
Hard” buat investor, dalam dan luar negeri. Dari soal pajak, birokrasi yang
panjang dan menyulitkan, biaya siluman sampai pada Dwelling Time yang mencapai
4,7 hari. Posisi lartas Indonesia saat ini mencapai 51 persen dari 10.826 pos
Tariff Harmonized System (HS) Buku Kepabeanan RI.
Sementara rata-rata ASEAN
hanya 17 persen.
Contoh riil adalah perizinan untuk usaha Migas.
Sebelum dipangkas menjadi hanya 20 perizinan, dulu investor migas harus melalui
104 perizinan.
Mengapa “regulasi liar” tersebut sampai terbit pada
tingkat Kementrian? Cukup kompetenkah jam terbang para menteri kita dalam
memahami Paket-Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi ?
Dan lagi-lagi, apakah ini terkait dengan pembagian jatah biaya siluman
yang muncul pada masing-masing meja perizinan ?
No comments:
Post a Comment