Benar belaka bahwa aksi 212 pada Desember tahun lalu, adalah
aksi terbesar sepanjang masa yang genuine dan puritan. Diikuti oleh sekitar 37
ormas Islam di Indonesia plus kekuatan-kekuatan sipil yang menentang gerakan
penistaan agama (Islam). Hanya yang harus diingat, mungkin gerakan tersebut
rasanya bukan hanya dipicu oleh penistaan agama.
Tetapi juga oleh sikap
penolakan sebagian besar peserta aksi terhadap beberapa peristiwa yang beraroma ketidak adilan, terutama peristiwa
penggusuran pemukiman rakyat di Kampung Pulo, Bukit Duri, Kampung Aquarium,
Rawajati dan lain-lain. Celakanya, yang tergusur adalah kampung-kampung yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Kenyataan tersebut tak pelak menjadi
amunisi “rasialisme dan anti Islam” paling serius yang bisa dimainkan oleh
pihak anti Ahok.
Kedua, massa aksi yang ikut juga (diduga)kebanyakan ikut
terprovokasi untuk menolak calon gubernur petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Penolakan
didasarkan pada maraknya ungkapan kasus korupsi yang dituduhkan pada Ahok. Hasil audit BPK menjadi acuan paling banyak
diajukan sebagai argument. Juga terhadap kasus-kasus lain, yang sayangnya, oleh
pihak KPK tidak direspon secara memuaskan dengan hanya mengajukan alasan “mens rhea”. Format gerakan reformasi yang anti KKN menjadi alasan paling kuat
bagi kekuatan pro demokrasi yang turut serta dalam aksi 212. KPK dan pendukung
Ahok dilingkaran Istana dinilai tidak fair dan cenderung mengaburkan
fakta-fakta hukum. Dan itu bisa di judge
sebagai anti semangat reformasi 1998.
Ketiga, Kinerja
Gubernur Petahana juga dipandang tidak bagus-bagus amat. Fakta bahwa kinerja Ahok ada diurutan papan tengah-bawah
dalam ranking Kemen PAN, BPK dan Kemendagri . Data selama tiga tahun terakhir,
Pemprov DKI mendapatkan opini (WDP) Wajar Dengan Pengecualian dari BPK. Selain
itu, penyerapan anggaran di DKI juga
sangat rendah. Sementara hasil evaluasi penggunaan anggaran daerah pada Semester
I 2015, persentase serapan anggaran hanya 22,86 persen dari total Rp 69,2
triliun. Hal itu menurut Kemendagri adalah penyerapan anggaran terparah selama
ini.
Keempat, Memang, keluarga Cendana adalah pihak yang paling
memanfaatkan situasi politik saat ini. Namun, mengatakan bahwa dukungan Cendana
akan menyurutkan dukungan terhadap Anis-Sandi diputaran kedua juga terlalu
spekulatif. Dari pengamatan akar rumput, justru keluarga Cendana yang
ditunggangi oleh semangat perlawanan. Orang tidak perduli siapapun dan apa
latar belakangnya. Mereka yang dipandang
mampu memberikan support politik dan moral dalam gerakan perlawanan ini, akan
diajak untuk berkoalisi. Meruntuhkan dominasi Gubernur Petahana menjadi hal
paling utama dibanding membicarakan siapa mendukung siapa.
Kelima, Kharisma Anis Baswedan. Sosok ini dikalangan kaum
Islam “abangan” maupun “modernis” di Jakarta menjadi sosok antithesis terhadap
Gubernur Petahana. Dibeberapa polling jejak pendapat harus diakui pasangan Anis
Sandi unggul.
Terakhir menurut saya, peristiwa 313 hari ini, biarlah
dicatat dalam sejarah perpolitikan bangsa kita sebagai rentetan aksi masyarakat
sipil Indonesia yang sejak dulu selalu dimarginalkan. Itu adalah “latihan” bagi
civil society untuk tegak dan sebangun sama tinggi, duduk sama rendah dengan
kekuatan-kekuatan dominan. Terutama kelompok bersenjata dan ruling class yang
merasa punya kuasa atas modal dan kekayaan tanah air.
Tiada gading yang tak retak. Tabik selalu.
Pril Huseno
No comments:
Post a Comment