Thursday, April 26, 2018

Karut Marut Tenaga Kerja Asing (TKA) dan Dilema Buruh Kita

Kaum lemah dan tak berdaya seperti buruh Indonesia, kini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga dua kali. ‘Keapesan’ pertama, ketika pada 2015 lewat PP Nomor 78 Tahun 2015 kenaikan upah buruh ditetapkan hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal di seluruh dunia kenaikan upah buruh selalu melibatkan serikat pekerja, lagipula nun pada masa orde baru saja, kenaikan upah harus didahului survei pasar untuk menentukan kebutuhan fisik minimum (KFM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) dimana serikat buruh dilibatkan dalam survei tersebut. Setelah itu diadakan perundingan untuk menghasilkan ketetapan perubahan/kenaikan upah minimum. Namun kini kenaikan upah hanya ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi semata. Untuk diketahui, penetapan inflasi dan pertumbuhan ekonomi biasanya ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).   

‘Kesialan’ kedua, arus yang menderas dari pekerja asing terutama dari China ke Indonesia telah dipermudah oleh Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang TKA di mana pada Pasal 10 perpres tersebut menyebutkan pemberi kerja tidak lagi wajib memiliki RPTKA (Rencana Penggunaan TKA) untuk pemegang saham, pegawai diplomatik dan jenis pekerjaan pemerintah yang membutuhkan TKA. Tambahan lagi pada Pasal 6 ayat 1 perpres disebutkan TKA yang sedang bekerja diperbolehkan bekerja di perusahaan lain dalam posisi yang sama, juga diperbolehkannya TKA menggunakan izin tinggal sementara (VITAS) sebagai izin bekerja untuk hal-hal yang bersifat mendadak.

Ketentuan kemudahan masuknya TKA tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan setiap penggunaan TKA harus membuat RPTKA yang disahkan oleh Kemenaker.
Dengan tidak adanya RPTKA, bisa diartikan TKA tidak lagi memerlukan izin untuk bekerja di wilayah Indonesia, apalagi diizinkan pula untuk bekerja pada posisi yang sama di perusahaan lain, padahal masih bekerja di perusahaan pertama.

Dengan dua ‘keapesan’ di atas, tidak berlebihan kiranya jika disimpulkan bahwa buruh kita tetap dalam posisi yang semakin dilemahkan pada penentuan hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk kemanusiaan, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 27 ayat 2, Pasal 28 D ayat 2 untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, UU Nomor 13 Tahun 2013  tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh dan Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat.

Kapan saatnya kita bersepakat untuk tidak menjadikan buruh sekadar objek pelengkap penderita? Posisinya selalu dilemahkan sejak munculnya politik buruh murah ala Soeharto. Sayangnya, suara idealisme pembelaan buruh domestik dan kesempatan kerja bagi bumiputera saat ini bak teriakan di tengah padang pasir. Tidak ada yang mendengarkan. Terlebih dengan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang TKA yang membuka lebar pintu buruh asing untuk bekerja di Indonesia dengan segala keistimewaannya.

Sampai medio 2017 lalu, buruh asing—terbanyak dari China—tercatat mencapai angka 126 ribu orang. Bertambah 69,85 persen dibanding akhir 2016 yang masih sebanyak 74.813 orang. Banyak dari mereka merupakan buruh unskill alias buruh kasar, dari tukang sapu sampai tukang semen. Hal tersebut mau tidak mau menimbulkan kegelisahan bagi warga lokal yang kebanyakan masih menganggur menunggu kesempatan bekerja. Belum lagi selentingan bahwa upah pekerja dari China berkisar Rp15 juta per bulan. Sementara warga lokal paling banter Rp3,5 juta per bulan.

Repotnya, alasan diterbitkannya Perpres Nomor 20 Tahun 2018 antara lain untuk mempermudah investasi asing masuk. Sementara bagi investor asal China misalnya untuk proyek pembangkit listrik, memang ditawarkan dengan harga murah tapi harus satu paket dengan penggunaan buruh yang didatangkan dari China.

Dengan dibukanya kran bagi TKA, tantangan dan keruwetan yang dialami buruh Indonesia nampaknya akan berimbas pula pada pemberdayaan SDM Indonesia. Terutama mereka yang mengenyam pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Setiap tahun, sekitar 68 ribu lulusan perguruan tinggi menganggur dan 748 ribu lulusan perguruan tinggi ‘ditetaskan’. Soal ruwetnya, bagaimana memberdayakan sekian banyak ‘idle capacity’ di tengah kesempatan kerja yang semakin menyempit. Padahal kesempatan kerja adalah salah satu matarantai daya beli. 

Dari uraian di atas, nampaknya kita lupa pesan Nawacita yang bertekad memperkuat ekonomi kaum pinggiran termasuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi buruh. Jangan sampai kebijakan TKA membuka ruang tembak bagi lawan-lawan politik Jokowi yang gemar memberi stempel ‘Presiden’ pro pekerja asing. Atau...memang sengaja dibuka?!


(Baca Tulisan Berpikir Merdeka Lainnya di Watyutink.com)


No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...