Thursday, April 26, 2018

Kritik Richard Robison dan Pendewasan Bangsa

Prof. Richard Robison, penulis “Indonesia: The Rise of Capital, baru-baru ini menyindir sementara kalangan di Indonesia yang menyatakan Indonesia berpotensi menjadi kekuatan baru di Asia. Menurutnya, dasar-dasar argumen tentang kebangkitan itu sangat lemah. Selain tidak nampak adanya perencanaan maupun upaya sistematis Indonesia untuk memproyeksikan kekuatan ke pentas internasional, Indonesia juga dinilai tidak punya kemampuan untuk mempengaruhi setting of rules sebagaimana dimiliki negara yang kuat.

Contohnya, ihwal pertarungan sengit Eropa dan Amerika dalam isu perdagangan dan hak cipta intelektual. Selama ini hegemoni selalu dipegang oleh AS. Negara lain termasuk Indonesia sangat sulit untuk masuk dan mempengaruhi dua hal itu. Menurutnya, Indonesia mungkin punya intensi untuk menunjukkan pengaruh, tapi dalam bidang apa?

Sebagai bangsa yang besar, kita tidak perlu marah apalagi galau menyikapi sinyalemen Robison di atas. Kita cukup introspeksi diri saja. Bangsa yang tangguh adalah mereka yang mau menerima kritik dari pihak lain. Sebab, para pengeritik biasanya adalah para pengagum tersembunyi.

Tapi sebaiknya kita mulai saja mengelaborasi apa-apa yang dikritik oleh Robison, terutama ihwal tidak nampak adanya perencanaan maupun upaya sistematis Indonesia untuk memproyeksikan kekuatan ke pentas regional apalagi internasional. Dari sinyalemen tersebut, memang seolah bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat lemah secara metodologis. Membuat planning dengan sistematika yang benar saja tidak mampu. Itu jelas ‘ngenyek’. Padahal, wilayah metodologi pasti menjadi makanan sehari-hari dari para ekonom dan ahli sosial politik Indonesia yang selama ini menjadi punggawa kabinet dari periode ke periode. Apanya yang harus direncanakan secara sistematis? Kekuatan apa yang gagal dipentaskan oleh Indonesia?

Satu-satunya kekuatan yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Dari iklim tropis dengan udara hangat kuku, sampai isi perut bumi dan hasil laut, Indonesia juara!
Kekayaan SDA itulah yang menjadikan Indonesia kawasan yang diperebutkan, mulai bangsa kulit putih sampai kulit kuning sejak dulu kala. Oleh karenanya, satu-satunya kekuatan itu harus dipentas-dunia kan secara elegan. Presiden Sukarno dan para founding fathers yang kemudian menyadari potensi SDA Indonesia bakal jadi ajang perebutan bangsa lain sudah mewanti-wanti melalui Pasal 33 UUD 1945. Tapi sekarang semua sudah tergadaikan. Sehingga oleh para penggugat dimunculkan idiom Asing-Aseng sebagai pemilik dan penikmat SDA di negeri ini.

Jika upaya menjadikan kekayaan SDA Indonesia sebagai kekuatan utama bargaining gagal dimainkan, maka sinyalemen Robison bisa jadi benar. Saat ini, Indonesia masih berjuang mewujudkan kedaulatan nasional dalam pemanfaatan hasil SDA, bertarung dengan kekuatan-kekuatan pemodal raksasa dunia. Apakah hal itu yang disebut tidak punya planning dan upaya sistematis dalam memosisikan Indonesia di kancah dunia?

Agak repot memang membantah Robison, terlebih membaca kinerja ekonomi Indonesia sejak 1981-2016. Dari 18 negara yang disurvei, Indonesia satu-satunya negara yang mengalami penurunan rasio perdagangan terhadap GDP atau ((X+M)/GDP).  Rasio perdagangan RI terhadap GDP pada 1981 sebesar 53 persen, pada 2016 tinggal 37,4 persen. Ekspor industri manufaktur RI pada 2017 ada di urutan 30 negara dengan 47,7 persen total ekspor manufaktur.  Hanya pada 2017 ekspor dan impor RI bisa tumbuh perlahan, namun dengan pertumbuhan ekonomi yang stuck di angka 5 persen sejak 2013. Ranking GCI dan EoDB yang pada 2017 naik peringkat membutuhkan effort yang ketat untuk tetap mempertahankan struktur perekonomian yang sehat.

Bahkan untuk menjadi leader di kawasan ASEAN, dimana seharusnya Indonesia memanfaatkan pasar kawasan regional yang lebih luas dan terbuka setelah Free Trade Area (FTA), malah dimanfaatkan oleh negara lain sehingga kalah dalam pertumbuhan ekonomi dengan Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Apalagi dengan China.

Hal-hal di atas ikut menentukan kemampuan setting of rules Indonesia dalam berbagai hal, terutama perdagangan internasional dan hak cipta. Tidak seperti Sukarno yang ‘leading’ sebagai salah seorang pemimpin berpengaruh dunia.

Selain lemah secara metodologi, inisiasi dan inovasi, akan lebih pening jika membaca sinyalemen Robison berikutnya bahwa tidak ada intensi dan kapasitas pemimpin ekonomi dan politik untuk memproyeksikan kekuatan, sebagai salah satu penyebabnya. Karenanya kritik Robinson harus dimaknai sebagai cambuk kritis yang positif. Agar rakyat Indonesia tetap eling lan waspada!

(Baca juga Berpikir Merdeka di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...