Thursday, April 26, 2018

Pajak Kita dan Ambiguitas Peraturan Pajak

Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan gaji pegawai. APBN 2017 menargetkan 85,6 persen (Rp1.498 triliun) penerimaan negara  berasal dari pajak. Sisanya 14,3 persen (Rp250 triliun) dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan 0,1 persen (Rp1,4 triliun) dari hibah.

Beberapa pengamat mencatat, penerimaan pajak yang dipungut dari masyarakat dan pelaku usaha, kurang optimal. Gagal dalam memungut pajak  penghasilan dari masyarakat kelompok terkaya. Padahal, pajak bisa digunakan sebagai instrumen untuk meredistribusi pendapatan dari kelompok kaya ke masyarakat miskin.

Dalam kasus Indonesia, betulkah pajak bisa menjadi instrumen paling efektif untuk mengatasi kesenjangan sosial? Bukankah bagi Indonesia,  kebijakan dan pilihan sistem ekonomi liberal kapitalistik yang menjadi masalahnya? Sama sekali tidak pro rakyat. Lalu, apakah pajak bisa memutarbalikkan pilihan sistem ini?

Memang,  dari negara maju, pajak yang dipungut dari masyarakat terkaya berhasil menurunkan ketimpangan pendapatan. Tapi itu dapat terlaksana dengan beberapa prasyarat. Aturan main sudah berjalan baik.  Juga penegakan hukum, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan kepatuhan terhadap penegakan hukum, redistribusi pendapatan dapat berjalan baik karena ditopang sistem yang berkeadilan bagi semua. Terbuka lebar kesempatan berusaha bagi rakyat kebanyakan.

Di Indonesia,  perolehan pajak yang disimpan di lembaga-lembaga keuangan negara (bank pemerintah) pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh kalangan yang memiliki aset memadai sebagai jaminan bank. Sesuatu yang amat sulit dipenuhi oleh rakyat kebanyakan.

Dan tragisnya, masih ada saja orang kaya yang belum mengikuti program Tax Amnesty dan bahkan tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).  Tidak aneh, bila perolehan pajak penghasilan dari kelompok individu yang potensial masih amat kecil dibanding perolehan PPh karyawan.
Mengapa kebijakan dan adminstrasi perpajakan kita tidak mampu menjangkau kelompok masyarakat terkaya? Padahal kita  sudah menerapkan tarif progresif pajak (UU No 36/2008).   Kendala hukum atau mutu kerja petugas pajak kita?

Dengan kondisi demikian, masihkah pajak dapat diharapkan sebagai instrument efektif untuk mengatasi kesenjangan sosial ?

Apa pendapat Anda ? Watyutink ?
(pso)

(Baca Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...