Thursday, April 26, 2018

Balada Gagal Serap Anggaran Daerah

Masalah penyerapan anggaran APBD yang minim kembali dihebohkan. Beberapa provinsi serapan anggarannya masih rendah.  Misalnya, Kalimantan Utara dan Papua. Kalimantan Utara hanya menyerap 27,17 persen APBD, dan Papua yang hanya 20 persen APBD. Total anggaran yang masih “nganggur” sejumlah Rp220 triliun di seluruh Indonesia.

Sebabnya beragam. Karena lamanya  pencairan anggaran oleh pusat, sulitnya mencari SDM berkualitas untuk melaksanakan kualifikasi tender,  sampai dengan menyediakan SDM yang terampil menata sistem perencanaan dan penganggaran secara elektronik. Belum lagi campur tangan legislator daerah dalam pengesahan hasil Musrenbang.

Puncaknya, keengganan pejabat daerah dalam membelanjakan APBN/APBD dengan alasan takut tersangkut masalah hukum.  

Sebelum masalah penyerapan anggaran ini kembali muncul, pada April lalu efektifitas dan efisiensi penggunaan APBD terkait prioritas program juga menjadi perhatian pemerintah pusat. Daerah dianggap tidak fokus dan tidak cermat menetapkan skala prioritas program.

Menjadi pertanyaan, mengapa perencanaan dan penyerapan APBD  selalu bermasalah? Bukankah di era otonomi daerah semestinya daerah sudah menyiapkan semua infrastruktur anggaran dengan baik?
Lalu para perencana di pusat, apakah tidak memahami persoalan umum di daerah tentang efektifitas serapan anggaran yang selalu bermasalah setiap tahun?

Konon, Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) daerah masih terkendala oleh beberapa hal. Antaran lain “intervensi” legislator daerah yang merasa mempunyai hak budget. Hasil Musrenbang eksekutif seringkali berubah ketika disahkan DPRD. Bisa jadi terkait motif kepentingan politik maupun ekonomi legislator.

Keadaan seperti ini pasti mengganggu  pertumbuhan ekonomi daerah. Pembangunan daerah yang menyangkut kepentingan publik pasti tertunda dan berdampak kuat pada dinamika perekonomian daerah tersebut.

Mengapa masalah minimnya penyerapan APBD ini tidak pernah diantisipasi dan  dituntaskan oleh pusat? Apa tidak bisa, sejak awal perencanaan sampai dengan penyusunan anggaran dilakukan secara  komprehensif agar implementable di berbagai daerah? Sampai kapan ‘gagal serap’ ini akan berlangsung? Apakah disengaja atau ada penjelasan lain?

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...