Thursday, April 26, 2018

Ketika Modal Asing Menjadi Piihan Sulit

Sejak UU No 1 tahun 1967 membuka keran modal asing, eksploitasi sumber daya alam dari hulu hingga hilir terus bergulir dan berkembang. Mengambil alih tanah dan sawah produktif milik rakyat dengan ganti rugi ala kadarnya, marak terjadi. Alih teknologi, pemanfaatan tenaga lokal, kemitraan dengan usaha kecil setempat, tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Investasi asing yang diharapkan menjadi lokomotif ekonomi nasional ternyata menjelma jadi monster bagi ekonomi rakyat. Bekerjasama dengan komprador dalam negeri, modal asing menjadi imperium bisnis yang sulit dikendalikan. Alotnya perpanjangan “Kontrak Karya”/IUPK PT Freeport adalah satu contoh kasus.  

Kasus kerusakan lingkungan, “pemiskinan” sekitar areal investasi, dan menyusutnya lahan pertanian, merupakan contoh begitu leluasanya modal asing masuk. Ini akibat kelemahan kontrol negara karena regulasi yang tak berpihak pada kepentingan rakyat. Modal asing juga sukses "mengubah" budaya dan perilaku keseharian kita. Contoh, segala peralatan dan perlengkapan rumahtangga kian cenderung penuh pada pilihan, cara, dan gaya hidup modern barat.

Terhadap modal asing, kita tak perlu bersikap anti. Asal lewat regulasi yang tegas dan ideologis, pemerintah bisa menjadikan PMA sebagai mitra usaha ekonomi rakyat untuk tumbuh dan berkembang bersama. Seperti regulasi yang disusun melindungi sektor ekonomi rakyat (koperasi dan UMKM) serta BUMN.

Mengapa modal asing yang diharapkan jadi madu, malah berubah jadi racun yang mematikan? Di mana letak salahnya? Idealnya ?

Jika pemihakan sektor ekonomi rakyat cukup kuat, maka  kasus 40 tahun eksplorasi ladang gas oleh perusahaan asing di Aceh tanpa memberikan kemakmuran bagi warga sekitar, niscaya akan dapat dihindari. Aceh tentu tidak jatuh menjadi provinsi miskin di Sumatera seperti sekarang.

Rasanya, saat ini butuh lebih dari sekadar penyusunan regulasi untuk melindungi sektor ekonomi rakyat. Tapi juga sikap mental “Trisakti” harus diterapkkan dalam praktik. Mumpung presidennya Jokowi yang pro "Trisakti".

Masalahnya, siapkah kita berdaulat secara ekonomi dan politik? Kebijakan seperti apa yang bisa menjadikan modal asing sebagai mitra usaha ekonomi rakyat? Apa yang dibutuhkan agar iklim berusaha kondusif bagi pengembangan sektor ekonomi kerakyatan?

Bagaimana pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...