Thursday, April 26, 2018

Optimalisasi Zakat Harta Untuk Dana Haji, Bolehkah?

Zakat Harta bisa dikelola profesional, seperti pajak. Dana zakat, hemat Menteri Keuangan Sri Mulyani, bisa dijadikan salah satu potensi keuangan pengentas kemiskinan, bahkan pengurang ketimpangan di masyarakat. Wajar. Potensi dana zakat selama ini diperkirakan bisa mencapai Rp217 triliun. Hampir sama dengan anggaran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) di APBN 2018 yang mencapai Rp267,8 T.

Karena itu dalam 2nd Annual Islamic Finance Conference bertema The Role of Islamic Finance in Eradicating Poverty and Income Inequality di Yogyakarta, Sri Mulyani  sengaja menantang para akademisi dan ahli syariah mencari formulasi jitu dalam mengefektifkan potensi dana umat tersebut.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Zakat, menegaskan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai badan pengelola, pengumpul, dan distribusi zakat. Namun Baznas tiap tahun baru mampu menghimpun 1,2 persen dari potensi Rp217 triliun.

Saran Menkeu memang menantang. Jika mayoritas miskin teratasi, itu sama saja mengatasi kefakiran mayoritas umat. Tapi mengingat ini terkait syariah, apa hal itu tidak memicu kontroversi lagi? Jangan malah “kisruh” seperti  dana haji yang sempat terwacana hendak digunakan. Maklum, ada yang menyindir pemerintah seolah panik akibat defisit anggaran.

Simak saja, Tax Amnesty terkesan gagal akibat ketidaktegasan law enforcement atas pengemplang pajak lokal. Padahal ada sekitar Rp11.000 triliun potensi dana orang Indonesia di luar negeri.
Kesan panik yang dihembuskan para oposan Jokowi wajar terbentuk, mengingat  pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo Oktober mendatang telah mencapai Rp221 triliun. Padahal program infrastruktur, pengentasan kemiskinan pada APBN 2018 butuh dana cukup besar.

Pertanyaannya, bukankah di samping penerimaan pajak, migas, pajak migas, dan cukai, masih banyak potensi penerimaan dalam negeri yang bisa digenjot? Bukankah program Bekraf,  hasil laut, dan pertanian/perkebunan, juga berpotensi luar biasa? Bahkan kandungan gas bumi maupun mineral lain di Indonesia konon terbesar di dunia.

Mengapa kita tak kunjung sukses mengoptimalkan potensi-potensi tersebut? Masalah kendala teknologi? Modal? Atau mental? Tapi, jangan-jangan ini cara Sri Mulyani bilang ke Presiden, “Dana kita kurang. Bangun yang perlu saja, Pak”.

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...