Thursday, April 26, 2018

Upaya Menaikkan Daya Beli Rakyat

Data makro ekonomi dalam RAPBN 2018 cukup bagus, namun jangan abaikan indikator di sektor mikro. Pertumbuhan ekonomi tercatat  5,01 persen sesuai target. Peringkat laik investasi pun dianugerahkan oleh Standard and Poors. Sayang indikator baik itu terusik berita penutupan beberapa gerai Hypermart, ritel kondang Matahari Group. Sekecil apapun, gejala tak lazim itu tentu layak disimak.

Meski penutupan disebut hanya atas gerai yang tak menguntungkan, itu niscaya mengindikasikan ada penurunan penjualan. Pertanyaannya, penurunan penjualan itu dalam arti sekadar susut omset, atau daya beli yang menurun? Jika itu ternyata penurunan daya beli, jelas ini bukan hanya masalah mikro ekonomi, tapi telah menjelma jadi masalah makro ekonomi.

Aprindo, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, awal Juli 2017 mengaku bisnis ritel anjlok sejak awal 2017. Awal semester I/2017 sempat tumbuh 4,4 persen, namun Mei  susut  jadi 3,6 persen. Juga bisnis makanan dan minuman. Selama Idul Fitri hanya tumbuh 10 persen. Padahal Lebaran tahun lalu 50 persen.

Anomali lain, penjualan properti di Bali biasanya laris diminati mayoritas konsumen asal  Jakarta. Kini sepi pembeli. Adakah kaitan kelesuan pasar properti ini dengan kian efektifnya gerakan pemberantasan korupsi?  Kian terbatasnya ruang gerak koruptor juga tercermin pada kian sempitnya celah pencucian uang?

Benarkah ada penurunan daya beli? Aneh. Kesepian pusat perbelanjaan elektronik di Glodok, ternyata diimbangi oleh peningkatan angka penjualan bisnis online. Pola belanja ditengarai bergeser ke online-shop.  Ada anekdot, orang ke mal hanya cuci mata sambil makan minum, tapi belanja via gawai ke online-shop.

Selama beberapa periode pemerintahan, para menteri ekonomi kerap menyuguhi khalayak angka fundamental ekonomi Indonesia yang disebut “kuat”.  Juga para pakar seolah berlomba memberi info serupa.  Tapi, yang dirasakan rakyat di pasar, acap jauh berbeda. “Beli saja sama pakar di koran, Pak,” ujar pedagang dengan sinis.

Mengapa timbul anomali perekonomian yang aneh tapi nyata? Mengapa sektor riil/industri terasa kian tak ramah? Angka layoff  (PHK) meninggi, padahal peluang kerja baru nyaris nihil. Gerangan apa yang terjadi?

Apa pendapat Anda? Watyutink?
(pso)

(Baca Selengkapnya Tanggapan Pakar di Watyutink.com)  

No comments:

Post a Comment

Mengkritisi Pajak bagi Pelaku UMKM

Pelaku UMKM Indonesia sedang kesal. Pasalnya, setelah merampungkan revisi PP Nomor 46 tahun 2013 (Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 / ...